The Internship

Kebanyakan temen-temen gue udah sukses masuk universitas yang bagus dan gak lama lagi mereka akan berangkat ke tempat kuliah mereka masing-masing. Ada juga yang udah berangkat malahan. Kebanyakan temen-temen dari sekolah gue akan kuliah di luar negeri, seperti Amerika, Inggris, Kanada, Hong Kong, Jepang, Filipina, dan lain-lain. Ada pula yang harus menjalani national service atau wajib militer buat yang berasal dari Singapura. Tapi, ada juga beberapa yang memilih untuk tetap di Indonesia, terutama yang mau jadi dokter dan jadi ahli hukum (pengacara misalnya).

Gue?

Gue memilih untuk santai.

Gue baru bakalan mulai kuliah bulan April tahun depan. Ya, pilihan gue bisa dibilang nggak lazim, soalnya tiap gue kasih tau rencana gue ini, orang bakalan kaget dan nanya "Lho, kok gitu?" atau "Lho, emang kenapa?"

Banyak alasannya, dari pengen ngumpulin duit dulu, pengen nyantai dulu, karena umur gue kemudaan, pokoknya banyak deh alesannya.

Tapi gue memilih jawaban yang simpel dan tidak perlu penjelasan panjang lebar, "pengen istirahat dulu". Alasan lain adalah untuk melakukan sesuatu yang produktif untuk membuat kesempatan gue masuk ke universitas yang gue mau lebih besar. Karena nilai akademik gue sampahnya bukan main.

Yah, jujur, gue bukanlah orang paling pinter atau paling rajin di bumi ini, dan percayalah, I paid the price. Nilai IB gue, well...let's just say it's not exactly the best. Buat gue, asal gue bukan yang paling jelek, itu udah bagus. Ya, standar gue emang sangat rendah. Tapi yah, to be fair, tidak seperti murid-murid lainnya, gue bukanlah seorang try hard yang kerjaannya begadang semaleman untuk menyelesaikan tugas atau belajar untuk ujian. Gue begadang paling nonton bokep yutup, atau baca komik biasanya. Tidak, chatting di media sosial bukanlah menjadi faktor yang menyebabkan gue untuk tidur malem. Kenapa? Ya emang ga ada yang suka chat sama gue. Henfon gue gunanya cuma buat nelfon nyokap dan pesen Gojek. Yang rajin SMS gue cuma Telkomsel dan para setan kredit, atau penipu "mama minta pulsa". Terlepas dari semua itu, hape gue jarang bunyi.

Satu-satunya yang lebih sunyi dari henfon gue adalah hati gue. Jadi buat kalian yang mau sukses di SMA, jangan tiru saya ini ya. Udah nilai jelek, tampang jelek, single pula. 

Astaghfirullah, maap, jadi curhat.

Pertanyaan lain yang biasa ditanya orang adalah,

"Lo mau ngapain sampe April nanti?"

Well, seperti yang gue bilang, gue akan berbuat sesuatu yang produktif biar bisa gue masukin CV.

Gue intern di sekolah gue.

Yap. Di sekolah gue, udah biasa yang namanya lulusan yang balik ke sekolah untuk bekerja sementara. Ada yang lama, ada yang sebentar, dan gue termasuk yang lama, karena gue bakalan intern sampe sekitar Februari. Jadi, apa yang sebenarnya harus dilakukan seorang intern?

Di situasi normal, murid yang intern biasanya dijadikan teacher's assistant (TA), atau asisten guru. Seorang TA gak perlu melakukan banyak hal, kita cuma harus ikut guru yang kita bantu ke tiap kelas yang dia ajar, dan kita bantuin murid-murid di kelas itu. Kita nggak perlu ngajar dan mengambil alih kelas dari gurunya. Mentok-mentok, kita paling disuruh bantuin mengoreksi kerjaan murid-murid atau memberi tutorial untuk beberapa murid yang nilainya tidak terlalu bagus. Ya, agak tolol gak sih. Gue, mantan murid yang nilainya abal, memberi bimbingan untuk murid dengan nilai yang sama abalnya. Sangat tidak efisien.

Gue sudah merencanakan mau intern dari sebelum lulus, dan di awal liburan, gue kirim e-mail ke Executive Principal gue, semacam lamaran gitu lah. Gue bilang, kalo gue baru akan mulai kuliah bulan April 2016 dan gue mau "membantu adek-adek kelas gue". Gue emang pinter dengan kata-kata. Pada awalnya, gue gak yakin bakal diterima dan dibolehin jadi TA di sekolah gue, karena itu tadi, nilai gue jongkok abis. Gue udah mulai berpikir, bakalan ngapain gue sampe nanti April? Gimana nasib gue ini? Mati gue. Tapi, di saat gue pulang mudik, gue dapat telepon dari admin sekolah, memberi tahu gue untuk datang hari Senin tanggal 27 Juli untuk ketemu Executive Principal sekolah.

Gue sujud syukur. Confetti beterbangan. Dan gue optimis, rencana gue kali ini bakalan mulus. Setelah gue hidup dibawah kegalauan yang tiada dua selama SMA (terutama setelah ehm, you know, seperti yang sudah kalian ketahui...itu lho, yang 16 bulan), gue merasa kalo gue mulai menuju ke arah yang benar.

Wuidih, gue ngomong udah kayak preman dapet hidayah yang di sinetron-sinetron Islami.

Jadilah, gue datang ke sekolah hari Senin. Jam pertemuan yang ditetapkan adalah jam 8 pagi, tapi gue yang sekarang sudah teladan dateng lebih awal. Gue dateng jam 6.30. Kurang teladan apa coba. Later that day, barulah gue tau kalo Frodo, si cewek sipit garang temen gue, juga mau intern sebagai TA. Tapi dia cuma bakalan intern sampe akhir Agustus, karena dia bakalan berangkat ke New York untuk kuliah. Jadilah kita ketemu sama sang Executive Principal barengan.

Awalnya, kita mengira paling cuma bakal ngomongin mau bantuin ngajar apa, sampe kapan, dan hal-hal yang sudah kita prediksi lainnya. Ternyata eh ternyata, kita cukup tidak beruntung, karena untuk kita, situasinya agak berbeda. Executive Principal kita bilang bahwa ada dua guru SD yang belom dateng karena masalah visa, dan kita disuruh menggantikan mereka untuk sekitar 2-3 minggu, barulah bisa jadi TA.

Sompret.

Jadi, kita yang tadinya mau intern cuma sebagai TA, sekarang malah disuruh jadi guru pengganti. Kita harus bener-bener ngajar. Ngajar anak-anak SD pula. Gue, walaupun agak males karena harus kerja beneran, tidak terlalu keberatan. Personally, gue seneng berinteraksi dengan anak-anak. Tolong pernyataan gue ini jangan disalahartikan ya. Hal-hal yang mereka tonton dan mainkan sama kayak gue, misalnya Adventure Time, Pokemon, pokoknya gitu deh. Jadi, ngomong sama mereka masih bisa nyambung. Beda dengan si Frodo.

"I FRICKING HATE KIDS", bisik si Frodo ke gue setelah mendengar keputusan si Executive Principal.

"HAHAHAHA WHY DID YOU SAY YES THEN, TOLOL", gue bales bisik.

"WELL I DON'T HAVE MUCH OPTION, DO I, ANJING"

Gue hanya bisa ketawa melihat dan mendengar reaksi Frodo yang terus berbisik-bisik merana.

"Oh my God I didn't sign up for this"

"Udahlah, kan cuma tiga minggu"

"YEA BUT THEN I'M LEAVING IN THREE WEEKS. GUE TADINYA KAN TIGA MINGGU CUMA MAU JADI TA, GA HARUS NGAPA-NGAPAIN, NOW I HAVE TO ACTUALLY DO STUFF."

".....oiya ya."

"I better get paid extra for this."

Gue kembali cuma bisa ketawa.

Jadi, setelah berbicara lebih lanjut dengan pihak sekolah, gue disuruh menggantikan guru Science yang ngajar kelas 3 dan 5, sedangkan Frodo ngajar inquiry learning untuk kelas 3 dan 4.

"HAHAHAHA WHAT THE F*CK IS INQUIRY LEARNING?", gue ngejek si Frodo.

"I DON'T EVEN F*CKING KNOW, AH TAI", jawab si Frodo.

Jadilah kita mulai kerja dari hari itu juga. Untungnya, hari itu baru hari pertama masuk sekolah, jadi kita cuma ngajar setengah hari. Ngajarnya juga belom actually "ngajar", baru kenalan dengan murid-muridnya dan bagiin buku-buku ke mereka.

Kelas 5 bukanlah masalah yang terlalu besar buat gue. Anak-anaknya udah lumayan dewasa, jadi lebih gampang dikontrol. Yang masalah buat gue adalah anak-anak kelas 3. Mereka, Masyaallah, entah apa yang dikasih orangtua mereka untuk makan. Gak bisa diem. Ada anak yang ngomoooong mulu, ada juga yang nanyaaaa mulu, ada yang seneng lari-lari ke mana-mana, ada yang seneng teriak-teriak geje, ada juga yang gak bisa duduk. Dia gak lari-lari, dia stationary di mana dia semestinya duduk, TAPI ENTAH KENAPA DIA GAK BISA DUDUK. DIA BERDIRI-BERDIRI TERUS NYET. Gak tau lah, mungkin pantatnya kelewat bahenol atau gimana. Mungkin bisulan, gue tidak mau tau. Yang pasti, kelas 3 lebih sulit dikontrol dibanding kelas 5.

Gue juga belajar kalo tiap kelas itu gak sama muridnya, jadi cara handle-nya juga beda. Ada kelas di mana harus lebih banyak bicara, ada juga kelas di mana gue bisa lebih banyak nanyain anak-anaknya, dan ada juga kelas yang anak-anaknya kelewat pengen tau, dan gak selalu berhubungan dengan topik pelajaran.

Insiden "murid yang bertanya banyak hal" menimpa gue pada hari Kamis, hari ke-4 gue bekerja. Gue sedang mengajar salah satu kelas 5 dan pelajaran baru aja mau dimulai. Saat gue lagi set up projector dan komputer buat nyampein pelajaran, salah satu murid kelas itu nanya ke gue,

"Mr. Rory, how old are you?"

Oh ya, gue lupa bilang kalo gue sekarang dipanggil "Mister". Percayalah, gue juga geli dipanggil gitu, tapi apa boleh buat. Gue harus bikin mereka respek sama gue, kalo nggak gue bisa mati diinjak-injak sama anak-anak tersebut, mengetahui bahwa gurunya tidak lebih pintar dari mereka. Seenggaknya, panggilan "Mister" memberi kesan kalo gue lebih tua dari mereka, jadi at least gue masih bisa dihormati.

Lanjut ke cerita, gue jawab aja pertanyaan anak tadi dengan nanya balik.

"Take a guess, how old do you guys think I am?", gue tanya sekelas.

Jawaban mereka pun beterbangan.

"TWENTY!!"

"TWENTY FIVE!!!"

"TWENTY TWO!!!!"

"UMM TWENTY SEVEN!!!!"

"THIRTY!!!"

......wat de fak. Gue bersumpah, siapa pun yang bilang thirty emang minta digampar. Tapi sabar, gak boleh gitu, gue kan guru. 

Gue pun menjawab, "GUYS, WHAT IS THIS. Okay, I'll give you a hint, I just graduated high school".

Dan hasilnya

"UMMM TWENTY!!"

"TWENTY ONE!!"

.....ah, dasar bocah-bocah kampret.

Gue pun memberhentikan kerusuhan ini sebelum jawaban mereka semakin ngarang.

"Okay, okay, guys, so do you all want to know my age?"

"YEEEEEEESSSS"

"I'm only 17, you know...."

Suasana mendadak gegap gempita.

"HAAAAAAAAHHH??? WHAAAAT?!?!?!?! YOU'RE SOOO YOUUUNGGGG!! YOU'RE ONLY SEVENTEEENNN?!?!??! HAAAAAAHH??"

"......yes, I'm only 17...why are you so surprised?"

Dan salah satu murid menjawab pertanyaan gue itu.

"I THOUGHT YOU'RE IN YOUR 20s"

.

.

.

.

.

.

.

.

.



Jleb. Krak. Hati gue hancur. Lagi.

"You hurt my feelings", gue menanggapi pernyataan tadi. Mereka cuma ketawa-ketawa, dan tentu saja, gue juga ikutan ketawa, seakan perkataan gue tadi cuma joking. Padahal, dalam hati gue udah nyanyiin lagunya Naif yang Posesif. 

"MENGAPAAAAAAAAAA AKU BEEEEGIIINIIIIII, JANGAN KAAAAAAUUUU MEMPERTANYAKAAAAN"

Begitulah teriakan hati gue.

Ternyata, muka gue emang separah itu. Muka gue emang boros, bahkan anak SD pun mengira gue lebih tua dari umur gue sebenernya.

Kenapa semua orang sepertinya senang sekali ya membuat gue merana. Bahkan bocah SD kelas 5. Hadeuh.

Soo yah, begitulah, so far hal-hal yang menarik dari minggu pertama intern gue sebagai guru SD. One down, two to go. Berdoalah untuk gue teman-teman. Segitu dulu deh ya, ciao.

Comments

Popular Posts