Moving On

Oke, sebelum gue mulai, mungkin beberapa dari lo yang baca my “other” blog (during the dark ages) masih ingat betapa menyedihkannya hal tersebut. Semua yang gue tulis di situ, ya, sangat cringy dan ekh, menjijikkan. Membuat perut mual. Gue bilang “it was my biggest mistake” lah, “I regret this blablablabla” and so on, dan sekarang gue minta kalian lupain semua itu, oke? Because the only regret I have now is that I wrote those things. Kenapa? Well…let’s just say I discovered something I’m not supposed to but I did anyway because I’m awesome. So yeah, I am actually extraordinarily happy with my decision back then. And nope, I no longer feel any guilt and/or regret. As a matter of fact, I feel a lot like Neo now.

Metaphorical.

I take back evurythang I’ve said about her. Eh, but never mind, she gave me a couple of free t-shirts, lumayan lah. Bajunya bagus dan enak dipakai lho, adem, lembut di kulit pula.

Errhhmmhhmm, okeh, mari kita lanjut.

Don't worry, I’m not gonna boast about myself in this post for being utterly amazing, no, I am a truly down-to-earth human being. Okay, let’s begin.

So as stated in the title, yes, gue mau membahas masalah move onMove on kalo di-Indonesiain mempunyai arti kurang lebih untuk bisa melupakan sesuatu yang udah lewat. Move on tidak harus selalu dari mantan pacar atau gebetan, kita juga harus bisa move on dari kejadian memalukan atau kejadian apa pun yang nggak lo sukai di masa lalu. Ya, kadang kala emang ingatan-ingatan tersebut datang tanpa permisi dan membuat perut kita merinding dangdut, pokoknya sensasinya ga enak deh kalo tiba-tiba keinget sama kejadian-kejadian yang gitu. Atau bisa juga kita harus move on dari suatu barang yang udah kita punyai sejak lama, let’s say a toy, kayak Andy di film Toy Story. Walaupun begitu, kalo ada orang bilang kata-kata move on biasanya akan dihubungkan dengan masalah percintaan. Which is exactly the kind of moving on that I’m gonna talk about.

Gue bukanlah ahli kalo menyangkut move on. Ya, gue biasanya butuh waktu yang relatif lama untuk bisa pindah suka ke cewek lain dari cewek yang gue sukai sebelumnya. But to be fair, gue emang jarang suka sama seseorang sampe jangka waktu yang lama, dan so far, hanya ada tiga dua orang yang masuk ke dalam daftar itu. Yang pertama, tentu saja, Kursi. Gue suka sama dia selama kurang lebih dua tahun. Gue mulai suka kelas 8, nembak, ditolak, dan tetep lanjut suka sampe kelas 10, di mana pada akhirnya dia jadian sama orang lain. Ya, sadis. Padahal, gue udah bela-belain bayarin tiket bioskop setiap kali kita pergi nonton. Kita cuma pernah pergi nonton dua kali sih, BUT STILL MEN ITU DUIT GUE BISA PAKE UNTUK KEPERLUAN LAIN-LAIN. Ehm, anyways, tidak hanya itu, di saat kita jalan untuk yang kedua dan terakhir kalinya, salah satu temennya yang juga temen gue (kalo kalian masih inget post yang dulu, gue sebut orang ini dengan sebutan TP alias Third Person alias cockblock Third Wheel) juga harus gue bayarin karena dia memaksa gue untuk bersikap “gentleman” dan gue gak mau terlihat pelit di depan Kursi. Gue masih menunggu dia bayar hutangnya sampe sekarang.

Setelah dia tiba-tiba jadian, gue galau minta ampun selama beberapa bulan ke depan, dan masuk ke sekolah internasional dari sekolah negeri itu tidak membantu. Nilai gue amburadul, gue tiap hari kerjaannya nyanyi lagunya HiVi! yang “Orang ke-3” dengan Estrella yang main gitar, pokoknya parah deh. That is, of course, only until I became close with Radio, and eventually became a couple and so on and so on.

Nah yang kedua, tentu saja, Radio. Untuk bisa move on dari Radio itu setingkat lebih sulit dan memakan waktu yang lebih lama, karena gak kayak Kursi yang hanya sebatas gebetan, gue bener-bener jadian sama Radio. Yap, seperti yang kalian tau, gue sampe harus melalui this “dark ages” thing yang membuat gue kehilangan arah untuk sementara. Tapi sekarang, now that I know a thing or two, the whole "dark ages" stuff was just a waste of everything. But hey, it’s always like that isn’t it, galau dulu, pencerahan kemudian. Jadi yah, gue gak bisa bohong kalo  gue emang sempet down karena kesusahan move on dari Radio. Yang penting sekarang kan gue udah hepi, ecstatic even, and that’s all that matters to me for now, my own well being, and some of my close friends’ well being too, of course.

Tapi, sesusah-susahnya kita move on, ada satu hal yang lebih sulit. Membuat orang-orang di sekitar kita untuk move on seperti kita. Ya. Ini amat, sangat sulit. Orang-orang di sekitar kita gak bakalan bisa lupa sama masa lalu kita, sekalipun kita udah lupa atau udah gak peduli.

Dulu, pas gue masih mencoba melupakan Kursi, nyokap gue selalu saja mengungkit dia di setiap topik pembicaraan. Apa-apa pasti ngomonginnya Kursi. Pernah, di saat gue masih lagi galau-galaunya karena Kursi baru aja jadian, nyokap gue nanya,

“Kak, mama denger temen-temen SD kamu yang sekarang di SMP dari yayasan yang sama banyak yang SMA-nya ke Al-Izhar ya?”

“Oh ya, ma? Aku juga dengernya gitu sih”

“KAYAKNYA KURSI JUGA SALAH SATUNYA KAN?”

Jleb.

“….euh i-iya ma. Emang kenapa?”

“Ya nggak, mama nanya aja, kamu kan masih sering in touch sama dia. Apa kabar emang si Kursi?”

“…ehmm udah nggak lagi sih. Tapi dia baik…kayaknya…”

“Ooh lho, emang kenapa udah nggak?”

“Euuh anu, dia…aku…itu apa namanya…sibuk…gitudeh”

“Hoo iya juga ya. Mama kemaren baru aja liat fotonya di pesbuk, MAKIN CANTIK YA DIA SEKARANG KAK.”

“………i-iya…”

Gue udah mau nangis. Kenapa, mama? Kenapa engkau tega menyiksa batin anakmu seperti ini?

Pernah juga ada satu tamu yang datang ke rumah gue. Mereka satu keluarga, dan mereka bermaksud untuk membeli rumah gue yang saat itu memang dijual. Keluarganya terdiri dari bapak, ibu, satu anak cewek, dan satu anak cowok. Anak ceweknya umurnya kurang lebih sama dengan gue. Setelah tamu itu pulang, nyokap langsung ngomong ke gue.

“Kak, itu tadi ceweknya kayaknya seumur kamu juga deh.”

“Masa sih? Emang kenapa ma?”

“Cantik lho anaknya, MIRIP SI KURSI TAPI KERUDUNGAN.”

“……oke ma.”

Oh mama. Mengapa, mama.

Tetapi, ini belum seberapa kalau dibandingkan dengan reaksi orang-orang di sekitar gue belakangan ini menyangkut si Radio. Seperti yang gue udah bilang tadi, Radio, beda dengan Kursi, merupakan mantan gue, sedangkan Kursi cuma sebatas gebetan, jadi caci-maki yang dilontarkan orang-orang juga lebih brutal. Orang yang tau tentang hubungan gue dengan Radio juga lebih banyak, jadi serangan datang dari banyak arah, mulai dari nyokap, guru, temen seangkatan, sampe adek-adek kelas gue. Tampilan fisik gue yang tidak manusiawi juga menjadi pemicu naiknya tingkat brutalitas ejekan yang diarahkan ke gue.

Oke, kita mulai dari nyokap lagi. Nyokap gue emang sepertinya masih gegap gempita kalo anaknya ternyata bisa menarik nafsu birahi lawan jenis, karena memang dari dulu gak pernah ada cewek yang deketin gue, jadi sekalinya gue punya pacar dan putus, nyokap gue kayaknya agak nggak ikhlas dengan keputusan gue tersebut. Sama seperti masa-masa Kursi, nyokap nanyaaaa mulu soal Radio. Dari mulai soal universitas, soal keluarganya, pokoknya segala macem deh.

“Kak, itu si Radio jadinya kuliah di mana?”

“Hong Kong ma kalo ga salah”

“Oh, terus kamu nggak mau ke Hong Kong?”

“Nggak lah, ngapain emang ma?”

“Ya siapa tau. Kan Hong Kong juga universitasnya bagus.”

“Yaa tapi kan aku maunya ke Jepang ma, kan udah les bahasa Jepang apa segala macem, masa jadinya ke Hong Kong? Percuma dong.”

“Yaaa kan siapa tau”

“Siapa tau apa?”

“Ck yaaa siapa tau deh pokoknya, ciyeh”

“…..sipdeh ma.”

Ya. Nyokap gue kalo mau nyampein pesan implisit banget.

Gak cuma itu, nyokap gue tiap denger namanya Radio disebut pasti langsung nyamber ke gue. Seperti saat gue dan nyokap lagi nonton Harry Potter and the Deathly Hallows pt. 2.

“Yah, kak, itu namanya kok sama, Radio juga ya tuh, ciyeh”

“.….iya ma, si J.K. Rowling bisa aja emang”, jawab gue dengan sedikit sarkasme.

Buat kalian yang tidak tau, gue dulu ke mana-mana bareng dia di sekolah, dan ini tentu saja membuat guru-guru di sekolah kita tau tentang hubungan gue dan Radio. Jadi pas udah putus, Pak Troy, guru Bahasa Indonesia gue yang emang suka bikin geregetan, menjadikan gue mangsa empuk untuk keisengannya.

“Rory, kamu kuliah ke mana? Ke Hong Kong?”

“Hah, bukan pak, ke Jepang.”

“Ooh kirain ke Hong Kong, kan soalnya di sana ada, ehm”

“….udah nggak pak, udah nggak”

“Oh, iya, udah nggak ya, ups”

….kurang asem.

Atau kadang juga gini,

“Rory, kamu kuliah ke mana jadinya?”

“Ke Jepang pak, kan saya udah pernah bilang”

“Oh…Jepang deket sama Hong Kong kan? Ups…”

……minta disikat ini si bapak.

Tapi tentu saja, serangan yang paling parah datang dari temen-temen gue yang lain, terutama adek-adek kelas gue. Pada hari penyerahan academic awards, Radio, which just happens to be the highest IB scorer in my batch, tentu saja mendapatkan beberapa penghargaan dari sekolah. Dan seperti acara penyerahan penghargaan pada umumnya, sang penerima harus memberi pidato singkat. Berhubung si Radio udah diekspor diasingkan dibuang berangkat ke Hong Kong, jadilah dia bikin video singkat yang nampilin dia ngucapin terimakasih, ngasih saran buat adek-adek kelas, dan sebagainya. Daaaan tentu saja, gue, yang juga ikut nonton video tersebut, langsung menjadi target mudah buat adek-adek kelas gue.

“ROR, GIMANA PERASAAN LU ABIS NONTON VIDEO TADI? DIA KELIATANNYA HEPI-HEPI AJA YA ROR SEPERTINYA"

"ROR, KAYAKNYA GUE DENGER ADA SUARA NANGIS DEH TADI, SIAPA YA ROR? HAHAHAHA”

“ROR, LU GOBLOK SIH MUTUSIN CEWEK YANG DAPET NILAI IB 44 (dari maksimum IB 45, fyi), UDAH BERASA LAKU BANGET YA LO?”

“ROR, KOK LU TAMPANG KAYAK GITU SOMBONG AMAT SIH ROR, IB LO JUGA EMANG DAPET BERAPA SIH HAH? HAHAHA”

"GUE MASIH PENASARAN KOK RADIO BISA MAU SAMA LO YA, PADAHAL DARI SEGI OTAK SAMA TAMPANG BEDA JAUH BANGET NYET."

“YAH ROR, KALO GUE JADI LO NYESEL SIH, UDAH CANTIK, PINTER LAGI.”

“KOK LU TOLOL YA ROR HAHAHAHAHA”

“PANTES AJA LO KALAH SAMA BOCAH CINA, DASAR GEBLEK HAHAHAHA”

Dan seterusnya.

Dan seterusnya.

Dan seterusnya.

Dan seterusnya.

Tuhan, panggil aku sekarang.

Tentu saja, sebagai kakak kelas merangkap guru yang baik, gue menjawab dengan seadanya, dengan martabat, penuh ketenangan, dan juga bahasa yang berkelas.

"HAHAHAH DIEM LU LER, KAYAK LO PERNAH LAKU AJA."

Dan dengan begitu, diam sudah mereka semua. Ya. Gue emang orang yang calm and cool dalam menangani situasi seperti ini.

Karena hal ini juga, gue jadi lebih dikenal sebagai “cowok gak pernah ngaca yang mutusin cewek cantik dan pinter dengan nilai paling tinggi seangkatan”. Terima kasih banyak Radio. Berkat anda, saya dicap sebagai orang jahat. Well, itu sih emang udah dari dulu, emang  nasib gue bermuka kriminal BUT THAT'S NOT MY POINT. You get what I mean lah ya.

Eiiiitss tapi tunggu dulu, sebelum kalian komentar yang aneh-aneh, tentu saja gue gak masukin semua ini ke hati, karena yang pertama, well, I couldn't care less, dan yang kedua, gue udah biasa diolok massa kayak gini. Jadi gue udah ikut aja dengan perkataan mereka, go with the flow, you know, just playing along. Gue juga tau mereka gak serius, jadi kenapa harus cari ribut? Malah, karena semua hal ini, at least orang-orang jadi lebih sering ngajak ngobrol gue duluan, walaupun biasanya kalimat pembuka mereka adalah, “Ror, Radio apa kabar? Gimana rasanya kalah sama si *sensor*? HAHAH”. But hey, I get to socialize with more people. For being infamous. But then again, portraying the bad guy for once actually feels good, so I ain’t mad.

It's all about the silver linings beybeh, silver linings. And this? This here, well, let's just say it's not even the best part of my life right now.

Comments

Popular Posts