Part-Time Worker, Full-Time Loser

Is it just me or is it a trend to put a space between the last word of the sentence and the punctuation mark?

I really hope it's not, I've been avoiding Facebook because of that. My timeline's been filled with spaced-out punctuation marks, people sharing cringy, clickbait nonsense, and people tagging each other on those "Tag @(insert alphabet here) and he/she must suck DICK" type of unfunny shenanigans.

Maaf jadi protes, aku emang sebenernya kakek-kakek-takut-teknologi-dan-selalu-membandingkan-anak-muda-jaman-sekarang-dengan-anak-muda-jaman-dulu yang terjebak di dalem badan remaja labil 18 tahun.

Anyhow, that's not what I wanna talk about in this post. Kalo mau curcol, gue ada Dimas, jadi kalian gak perlu membaca terlalu banyak omong-kosong dari manusia haram ini.

So, ehm, with all that out of the way, let's actually begin.

Di tahun pertama gue, keuangan bukanlah masalah. Selama tahun pertama gue, gue dapet beasiswa dari pemerintah Jepang yang otomatis dikasih ke semua pelajar internasional. Jumlah beasiswanya cukup buat gue bayar-bayar tagihan dan makan, and as you know, I don't go out that much, so that's all I really need the money for. Masalahnya cuma satu.

Beasiswa ini cuma buat tahun pertama.

Sekarang?

Saya bangkrut.

Mungkin beberapa dari kalian lagi mikir, "yaudah, cari kerja paruh waktu lah", well guess what, I have been trying. Tapi masalahnya, tempat-tempat kerja yang gue coba lamar mewajibkan gue untuk bisa lancar ngomong bahasa Jepang. Gue bisa ngomong dikit-dikit, kalo orang ngomong juga gue ngerti, tapi harus diproses dulu. Gak bisa orang ngomong, gue langsung konek. Harus dipikir dua kali, baru deh gue nangkep. Pernah, gue ditelfon sama salah satu tempat kerja yang gue lamar, dan si mbak di telfonnya ngomong main nyerocos.

Gue langsung tutup, kagok.

Untungnya, murid-murid universitas gue punya grup fesbuk di mana sesama murid bisa bagi-bagi informasi soal kerja paruh waktu. And so I joined that group, and waited for any sort of available job. So long it doesn't require me speaking advanced Japanese, I'll take it.

Jadilah, beberapa hari kemudian, ada satu post yang memenuhi kemauan gue. Lowongan kerjanya adalah jadi kitchen staff di restoran yang lumayan terkenal di kota Beppu. Dari namanya, orang yang nge-post ini orang Vietnam. Cowok, dan dari fotonya, dia modis sekali. Jaket kulit, kacamata aviator a la The Police, pokoknya gitulah. Gue pun langsung kontak orang tersebut, dan dia nyuruh gue untuk dateng ke tempat kerjanya di hari Minggu.

Beberapa hari sebelum Minggu, si murid Vietnam ini nelfon gue, nanya-nanya beberapa informasi tentang gue, seperti nilai kelas bahasa Jepang gue, gue murid semester berapa, dan sebagainya.

Datanglah hari Minggu, dan datanglah pula gue ke tempat tersebut. Tempatnya sekitar 3km dari rumah gue, dan berada di kawasan yang udah termasuk pegunungan. Restorannya gak terlalu gede, tapi restoran ini merupakan bagian dari salah satu komplek onsen terbesar di Beppu. Sesampainya di depan lokasi, gue telfon si orang Vietnam tadi.

"Hey, I'm in front of the store"

"Oh, okay then"

Lah, ni orang gimana sih, kok cuma di-oke-in.

"....well? What do I do now?"

"Errr...okay, wait, hang on, I'll come out in a sec"

Keluarlah, dari dalam pintu "staff only", sesosok manusia bertubuh lumayan atletis, berkumis tipis, bermata sipit, dan tingginya se-telinga gue. Entah kenapa, gue awalnya ngira si orang Vietnam ini tingginya bakal jauh lebih tinggi dari gue, karena dari mukanya, dia keliatan kayak orang tinggi. Masuk akal gak sih ini perkataan gue?

Dia pun duluan nyapa gue.

"Rory?"

"Oh, yeah, hey"

"Nice to meet you", kata dia, sambil mengulurkan tangannya.

"Nice to meet you too man", gue jawab sembari menjabat tangannya.

"Come on in, I'll introduce you to the rest of the staffs", dia bilang, ngajak gue masuk ke dalem dapur restoran tersebut. Tapi, sebelum itu, gue tanyain dia satu hal. Satu hal yang sangat penting.

"Eh...ehm sorry, but...what should I call you, again?"

Yap. Daritadi gue cerita, gue selalu memakai istilah "murid Vietnam" untuk mengacu ke dia, now you know why I did that.

"Oh, iya, you can call me Baim", jawab dia.

"Hoo okey, cool"

Di dalem dapur, gue pun dikenalin ke staff yang lain. Tentu saja kebanyakan dari mereka pekerja tetap, ada beberapa juga sih pekerja sambilan kayak gue dan si Baim, tapi dari beberapa tersebut, yang sama-sama murid universitas gue cuma ada satu orang, yang juga orang Vietnam. Namanya Konblok, cowok kurus-tinggi berkacamata. Abis itu, gue dibawa ke loker staff untuk naro tas, dan gue langsung disodorin celemek dan bandana.

"Eh, lho, ini gue langsung kerja hari ini juga?", tanya gue ke Baim.

"Ah, nggak, ntar gue ajar-ajarin lo dulu apa aja yang perlu lo tau, harus ngapa-ngapain, terus gimana caranya", jawab si pria Vietnam.

"Ooh...tapi kok ini udah dikasih perlengkapan gini? Ini gue emang udah diterima? Gak perlu ada interview atau apalah?"

"Ya...biar gak kotor aja, sama biar makanannya gak kerontokan rambut lo".

Lah, bukan itu maksud gue kacrut. Dia kira gue gak ngerti fungsi celemek sama bandana buat apaan.

Jadilah, gue pake celemek dan bandana tadi (dengan susah payah), dan kembali ke dapur. Gue diajarin sama si Baim hal-hal yang perlu gue lakuin all throughout the day, dari pagi, siang, dan menjelang jam tutup. Dari cara ngupas telur rebus dengan cepat dan efektif, cara buka bungkus udon dengan cepat dan efektif, cara nyuci dan ngeringin piring dengan cepat dan efektif, dan banyak lagi. Ya, kalo kalian belom tau, kerja di restoran (apalagi pas hari-hari sibuk), semua harus dilakukan dengan cepat. Tapi cepat saja tidak cukup, harus cepat dan teliti. Misalnya, gue ngupas telur rebus, gak boleh ada setitik pun kulit telur yang nempel di putih telurnya. Gue sempet ditegor si Baim tengah-tengah lagi ngupas karena masalah ini.

"Nah, tuh liat, ini gak boleh nih ada begini", kata si Baim, sembari nunjuk ke salah satu telur yang gue udah kupas.

"Hah, begini gini apaan?"

"Ini nih"

"Ini apaan? Emang telur rebus wujudnya gini, kan?"

"Ye, bukan gitu, ini kenapa ada kulitnya nempel?"

Gue pun mengalihi perhatian gue ke telur yang dia tunjuk. Gue angkat telornya, gue puter-puter, masih aja gak ngerti apa yang dia omongin.

"Mana sih? Lu ngibul ya, mentang-mentang gue anak baru?"

"Yeh, kagak lah, sini nih", kata si Baim, terus telurnya dia ambil dari gue.

Dia pun mengelap bagian yang dia bilang ada kulit telurnya dengan jarinya, terus mengelap jari tersebut di telapak tangannya.

"Nah, nih, liat, ada kan?", katanya sambil membuka telapak tangan.

Gue pun mencoba fokus ke telapak tangannya, dan akhirnya, terlihatlah. Anjir men, itu cangkang telur gak nyampe segede biji upil.

"....lu serius?", tanya gue.

"Iya lah. Lain kali, lebih ati-ati ya".

Karena gue gak mau dipecat di hari pertama, gue ikuti perkataan si Baim. Gue kali ini ekstra hati-hati dalam mengupas telur rebus sebaskom.

Gak kerasa, jam udah menunjukkan pukul satu siang, dan si Baim ngajak gue untuk istirahat makan siang. Masalahnya cuma satu,

Gue gak bawa makan siang.

Oke, mungkin emang udah common sense kalo namanya kerja ya makan siang bawa makan sendiri. Lah tapi saya kan gak ngira kalo saya bakal kerja full di hari itu juga, gimana dong.

Untungnya, salah satu "bos" gue masih baik, jadi kali ini gue dikasih makanan restoran tersebut. Gue terima dengan lapang dada.

Lanjut lah, gue makan dengan si Baim. Si Konblok istirahatnya udah duluan jam 12, jadi dia udah balik kerja. Di jam istirahat ini, gue juga kenalan sama satu lagi murid universitas gue. Dia cewek, anak Vietnam juga. But fak, dia mirip banget sama Richard Ayoade. And I don't mean it as an insult, tapi pas pertama liat dia, gue merasa "eh, kok wajahnya ini gak asing ya? Mirip sama seseorang".

She's not even black or anything, she's super Asian if anything, but holy moly.

Oke, enough of that, I don't wanna sound racist. Which, I can promise you, I am not.

Erhm, oke, lanjut.

Karena selama kerja tadi masing-masing dari kami sibuk dengan berbagai hal, gue dan Baim gak terlalu banyak ngobrol. Jadilah, di istirahat makan siang ini gue dan dia ngobrol untuk mengenal satu sama lain lebih baik. Buset, udah kayak mau PDKT aja.

Berawal dari yang standar, umur berapa, di Jepang gimana, jurusan apa, si profesor ini gimana, pokoknya basa-basi yang udah hafal banget lah. Dan, dari percakapan tersebut, gue baru tau kalo ternyata si Baim ini cuma satu semester di atas gue, tapi umurnya tiga tahun lebih tua. Pantes, gue bilang ke dia, gue kirain dia murid tahun ke-3 atau malah udah tahun terakhir.

Dari pengalaman gue, kalo materi basa-basi udah abis, biasanya orang yang baru kenalan bakalan ada hening beberapa menit, karena masing-masing pihak perlu memikirkan topik apa yang bisa dibahas. Topik ini gak bisa terlalu personal, karena, well, we just met. Topik yang dianggap terlalu "personal" juga berbeda-beda untuk tiap orang. Untuk gue, asal si orangnya nanya baik-baik sih, gue gak masalah se-personal apapun pertanyaannya. Paling, kalo emang gue merasa topiknya terlalu personal, gue bilang aja dengan sopan, "I'd rather not say". Antara itu, atau gue jawabnya ngalor ngidul, gak ngasih jawaban aslinya.

Wow, berapa kali itu kata "personal" gue pake di satu paragraf.

But yeah, some people, if given personal questions, can actually lose their minds over it, and deem the other party as "insensitive" or "pushy".

Back to our lunch break, yeah well, we didn't have that momentary silence. Si Baim, yang emang keliatan easy going and highly social, tanpa ragu melanjutkan percakapan dengan bertanya ke gue,

"So, Rory, you have a girlfriend?"

Bujubusyet. I know that might not be that much of a personal question, but then again, I don't talk to that many people, so I don't get that question often. Kalo pun ditanya, biasanya gue udah kenal sama orangnya lebih dari 5 jam.

"Ahahahaha yeah well, currently? Nope", jawab gue, jujur.

"Oh, so you had a girlfriend?", tanya dia lagi, makin kepo.

"Well...yeah, quite a while ago, I did have one"

"When was that?"

"Errr during high school. Second year. Didn't last very long though hahaha"

"For real? Why, what happened?"

"Errrrrr yaa...we...broke up?"

"Ya ngerti lah gue putus, I mean what happened, why did you break up?"

Wei gilak, edan, ini orang udah kayak Feni Rose yang lagi menelaah perceraian pasangan artis naik daun di dunia entertainment lokal.

"Ehmmmm...yaaaa....we fought? And....we....kept fighting? And...we uhhh...stopped liking each other?", jawab gue, menghindari terlalu banyak info detil.

"I see....how long did that last?"

"Around one year and a few months, I think...why?"

"Really? See, the thing is...", jawab Baim, agak putus-putus biar dramatis.








"...I've never had one"








Gue syok dikit.

"Oh...oh wow. Really? How come?", tanya gue, penuh simpati dan iba. Dan juga sedikit khawatir.

Gimana gak khawatir, si Baim yang outgoing, bugar, dan berparas lumayan ganteng menurut gue, jomblo seumur hidup? Jangan-jangan, dibalik semua itu...dia...punya hobi nyolong kutang?

"It-it's a long story man, you sure you wanna listen to it?", kata si Baim, seakan ceritanya ini bakal kayak Cinta Fitri.

"I mean, we've got plenty of time, and you started this topic, so yes, if you don't mind, I would like to listen to what you've got"

"Hmm...okay, you seem like a trustworthy guy. I'll tell you"

Wah, aku dipuji. Dibilang bisa dipercaya. Maaf ya, Baim, aku tau, aku telah mengkhianati rasa percayamu dengan menulis ceritamu di blog ini, tapi kan namanya disamarin dan ceritanya gak detil sampe titik komanya, jadi gapapa lah ya.

Maaf, penyakit ngelantur. Setelah itu, lanjutlah si Baim cerita,

"Well...I guess I'm just unlucky"

"Hah? What do you mean unlucky?", tanya gue lagi, penasaran. Dia ganteng, pinter ngomong, hobi nge-gym, unlucky mananya ya mas?

"Like, don't get me wrong, I've liked girls that also liked me back..."

Pas dia bilang gitu, rasa simpati dan iba gue untuk dia tiba-tiba hilang. Di situlah perbedaan gue dan dia. Dia belom pernah punya cewek, tapi banyak yang seneng. Gue pernah punya satu, sebelum dan sesudah itu gak pernah ada yang suka.

"...but...well, okay, for example, I was close with this one girl during high school, but by that time, we were about to graduate, and you know, with me going to Japan and all"

"Ah, I see...not a big fan of long-distance relationship huh?"

"Yeah, pretty much"

I don't know about you, but that story sounds a bit too familiar for me.

Jadilah, kita saling cerita sekitar topik tersebut. Dia juga bilang kalo dia sebenernya tentu saja mau punya pasangan, tapi dia merupakan orang yang sibuk dengan berbagai aktivitas. Kerja sambilan aja ada beberapa, belom urusan sekolah, urusan organisasi sekolah, dan sebagainya. Dan gak kerasa, jam makan siang pun selesai, dan kami berdua kembali bekerja.

Paruh ke-2 jam kerja gue terasa lebih lama, tapi akhirnya, jam menunjukkan pukul 6.30. Waktunya pulang. Yap, untuk hari pertama, ini bisa dibilang hari pertama yang sangat berkesan. Pulangnya, gue dianterin si Baim yang ternyata punya mobil. Mini Cooper. Secondhand sih, but still, Mini Cooper kepret. Konblok juga ikut dianterin Baim pulang. Dengan begitu, hari pertama gue kerja ditutup dengan ditemani dua orang tersebut dan juga alunan merdu penyanyi Vietnam yang gue gak ngerti sama sekali nyanyiin apaan.

So yeah, gue sekarang udah kerja beberapa hari dan udah mulai terbiasa dengan orang-orang di sana dan juga apa aja yang gue harus lakuin. Gue bahkan udah dapet semacam promosi, yang tadinya cuma kebagian nyuci piring, nyiapin beras, dan ngupas telor, sekarang udah diajarin cara bikin pudding khas restoran tempat gue kerja. Di hari ke-2 gue kerja, sempet juga ditanya-tanyain sama bos-bos gue tentang berbagai hal, kebanyakan mengenai Indonesia tentunya. Sempet juga ditanyain "udah punya pacar belom?" yang gue jawab, yaa gak usah gue tulis juga kalian udah tau lah ya.

All in all, I dunno, knowing that I am doing something that generates money for me, without any help from my parents, feels kinda nice. Tentu saja, gue sekarang jadi lebih sibuk dibandingkan dulu. Gue emang ada beberapa off days di hari-hari sekolah, tapi weekend gue sekarang udah exclusively buat kerja. But I can't really complain, to be honest. In a way, this is what I've been wanting for myself, to have something to do, to be preoccupied with something, because with all these empty schedules that I had, I often found myself just dozing off into the daydream land. Creating scenarios that'd never happen in any version of the universe, or better yet, just simply overthinking things that don't even need to be given a thought on the first place.

But, yeah. That being said, I still


Well, never mind.










Ck ah, malah jadi curcol gini sih gue.

Comments

Popular Posts