Fear(less/ful)?


Semua orang punya ketakutan terbesarnya masing-masing. Ada yang takut laba-laba, ada yang takut sama hiu, ada juga yang takut bayar hutang. Gue pun tidak luput dari perihal ketakutan terbesar. Ya, memang sedikit mengagetkan, Rory yang luar biasa hebat dan sempurna ini ternyata manusia juga, yang bisa takut akan sesuatu.

Jadi, apa ketakutan terbesar gue?

Bertambah umur. Beranjak dewasa.

Tentu saja, ini hanyalah satu dari berbagai ketakutan yang gue punyai, meskipun kalau gue introspeksi, kebanyakan dari rasa takut yang gue punyai bukanlah dalam bentuk objek, tapi lebih ke suatu peristiwa yang mungkin atau akan terjadi.

Kehilangan orang yang gue sayangi, misal. Bersama dengan beranjak dewasa, kehilangan seseorang yang gue sayangi merupakan top 2 dari semua ketakutan gue. Gue bisa pegang laba-laba segede tangan, gue sangat tertarik dengan alam bawah laut, tapi sekalinya ditinggal orang? Gue pengen mati.

Gue adalah orang yang sekalinya nempel dengan seseorang, lepasnya susah. Mau itu teman, gebetan, pacar, bahkan satu orang di grup sekelompok yang berasa paling sreg, kalau gue merasa nyaman dan nyambung dengan mereka, gue biasanya akan berusaha sebisa mungkin untuk selalu dekat dengan mereka.

Ada masa di mana gue mengalami friendship breakup kecil dengan sahabat sejati gue, dan kita tidak ngobrol selama kurang lebih dua tahun, hampir tiga. Call it ego, call it pride, call it idiocy, tapi selama dua tahun itu, gue selalu mengulur dan mengulur dan mengulur, menunggu "waktu yang tepat" untuk meminta maaf dengan dia dan kembali berteman seperti semula. Hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun, dan dalam sekejap, semua terasa sudah terlambat. Untungnya, di malam tahun baru 2021, pacar gue, yang sudah lama mendorong gue untuk membangun kembali tali silaturahmi antara gue dan sahabat gue, gave that final push that finally got me to send him a text.

Alhamdulillah, we're back to being besties now.

Oke tadi lagi mau ngomongin apa sih? Oh right, my biggest fears.

Mungkin cerita tadi tidak sepenuhnya terputus dari apa yang sebenarnya ingin gue tulis. Beranjak dewasa dan kehilangan merupakan dua hal yang lambat laun gue sadari hakikatnya adalah sepaket. Loss plays a big part in coming of age. And conversely, coming of age will only be complete with the acceptance of loss. Be it friends, parents, significant others, or perhaps the most difficult one, our past self, accepting that loss is a constant within our lives is a valuable lesson that could, hopefully, change us for the better.

Tak bisa dipungkiri, gue menulis berbunga-bunga begini juga sebenernya masih sangat kesusahan dalam menghadapi fakta bahwa waktu akan terus bergulir, dan gue akan terus mengalami kehilangan. Gue inget, pertanyaan "What are you so afraid of?" pertama kali disodorkan ke gue melalui game Kingdom Hearts di PS2.

Di awal game tersebut, Sora, karakter yang dikontrol pemain, disuguhkan tiga pertanyaan dari tiga karakter NPC berbeda, dan tiap pertanyaan akan mempunyai tiga pilihan jawaban tersendiri.

Pertanyaan pertama: What are you so afraid of?

Pilihan jawaban:

1. Getting old

2.  Being different

3. Being indecisive


Pertanyaan kedua: What do you want outta life?

Pilihan jawaban:

1. To see rare sights

2. To broaden my horizons

3. To be strong


Pertanyaan ketiga: What's most important to you?

Pilihan jawaban:

1. Being number one

2. Friendship

3. My prized possessions


Gue pertama main game ini umur 10 tahun. Ya, sekarang kalian tau kenapa gue hasilnya jadi kayak gini sekarang. Dari umur 10 udah dikasih pertanyaan kelas berat.

Tentu saja, pertanyaan ini memang bukan semacam "tes kepribadian" yang bisa dijadikan tolak ukur untuk apa pun. Pertanyaan-pertanyaan tadi hanyalah sebatas game design yang nantinya akan mempengaruhi jalannya permainan. Akan tetapi, dari sekian banyak gue main game itu, gue selalu menjawab jawaban yang sama, bukan karena pilihan tersebut akan memberi gue pengalaman gaming yang paling cocok, tapi karena memang jawabannya cocok aja sama gue.

Getting old, to broaden my horizons, and friendship.

Dan dari main Kingdom Hearts ini, 10-year-old Rory jadi sering kepikiran, "I know growing old sucks, but is it really gonna be that bad?"

The answer is yes, my sweet summer child. Very much so. Beyond anything you could've imagined.

Pertanyaan soal "biggest fear" juga sempat diungkit di masa kuliah gue. Saat itu, gue sedang menjalani training untuk bisa ikut program kerja jadi part-time English teacher. Gue sudah ceritain soal ini di Final Summer's End, tapi gue gak masukin bagian yang ngomongin "biggest fear" I think, jadi akan gue omongin sekarang di sini.

Di awal sesi training tersebut, gue dan peserta lain melakukan aktivitas "ice breaking", yaitu "Life Bingo", di mana kami harus menanyakan satu sama lain pertanyaan-pertanyaan yang tertera di kolom-kolom bingo. Pertanyaannya beragam, dari "What's your special skill?", "Has stalked an ex before", dan tentu saja, "What's your biggest fear?"

Ada satu orang yang kebetulan perlu mengisi kotak "biggest fear" untuk mendapat bingo, seorang cewek Asia Selatan. Gue didatengin lah sama dia.

"Hey! I haven't asked you yet, so can you fill in mine? I just need one more person to get bingo", ujarnya.

"Yeah sure, which one do you need?"

"Okay, so what's your biggest fear?"

Gue jawab santai, "Oh, ummm that would probably be uhh... growing old, if I have to choose."

I didn't think any of it, gue kira jawaban gue cukup memuaskan, and it did answer the question, dan menurut gue normal lah. Tapi ternyata, jawaban gue tidak sesantai yang gue kira. Raut wajah cewek itu, yang tadinya senyum dan penuh energi, berubah jadi syok, sedikit cemas, dan canggung.

Dia diem sejenak.

Gue juga diem.

Kita liat-liatan.

"Wow, uhh I didn't expect you to give such a... errr deep answer, I thought you were gonna say spiders or something, but sure, what's your name again? So I can write it in the box", tanyanya, ekspresinya yang canggung terasa menusuk.

"... yeah, well, y-y'know, we all have our fears hah hahah I-I guess. It's Rory, by the way, R-O-R-Y, and I don't mind spiders at all I think they're coo—"

"Okay, thanks!", tanggap dia, langsung kabur setelah menulis nama gue di kertas bingo miliknya.

This is why I don't have friends.

Memang mungkin ketakutan ini sudah gue punyai sejak belia, tapi semakin gue berumur, tidak bisa gue elak, perasaan takut itu justru terasa semakin besar. Sekarang aja gue sudah 24 tahun, padahal rasanya baru aja kemaren gue masuk SMP. Bisa-bisa, dalam satu kedipan mata, gue sudah berumur 52, berkeluarga, beranak pinak. Semakin gue tua, waktu terasa semakin cepat berlalu. Pas SD, gue inget banget, puasa Ramadan cuma sebulan tapi rasanya pas Idul Fitri udah kayak lamaa banget. Now, Ramadan just comes and goes.

Gak cuma itu, ulang tahun di masa anak-anak sampai remaja tidak terasa seperti ulang tahun di usia dewasa. Dulu, loncatan dari tahun ke tahun tidak terlalu besar, karena tanggung jawabnya juga masih enteng. Beban hidup juga paling cuma UN dan bimbel biar bisa masuk sekolah yang diinginkan. Lingkungan sekolah juga membuat proses pencarian teman jauh lebih mudah, karena ya itu tadi, tiap tahun juga pasti ketemunya dia lagi dia lagi. Kalau pun beda kelas sama teman yang dulu, masih bisa berkunjung ke kelas mereka. Semua terasa sangat ideal, tertata, masih terlindungi dari kenyataan di luar sana.

Rasa kehilangan pun sama adanya. Semakin gue dewasa, yang seharusnya semakin kebal dan kuat menahan emosi di saat kehilangan, gue malah semakin merasa rapuh. I'm talking about the loss of a person rather than materialistic items, of course. Be it death, breakups, loss in whatever form will leave me incredibly petrified and, well, lost.

I've experienced loss throughout my upbringing, dari hewan peliharaan, teman main sekomplek, life's luxury, and many others, but being a snot-nosed brat, these things didn't really hit me as hard, mungkin karena otak gue juga belom bisa memproses perasaan kehilangan dengan sempurna. 

The first loss yang gue rasa signifikan adalah kehilangan gebetan gue di kelas 10 SMA. Singkatnya, gue udah lama suka sama satu cewek, dua tahun kurang lebih, jadi sukanya udah dari kelas 8 SMP. Gue juga sudah pernah nembak gebetan gue ini, but being the bubbly, optimistic boy that I was, gue lanjut ngobrol dengan doi, karena gue saat itu yakin, gue hanya perlu usaha dan waktu lebih untuk akhirnya bisa bikin hatinya luluh. We became close friends, meskipun tentu saja gue menginginkan sesuatu yang lebih, tetapi percakapan kami melalui SMS terasa sangat seru. Gue tiap bulan dimarahin nyokap karena bill pascabayar gue selalu membengkak, tapi ya namanya remaja kasmaran, semua itu tidaklah penting dalam usaha memenangkan hati sang gebetan.

Satu malam gue liat di timeline Twitter gue, ada satu tweet yang mengucapkan selamat ke dia dan seorang cowok. Dia jadian. Two years' worth of effort. Dua tahun dimarahin nyokap tiap bulan soal tagihan hape. Dalam momen itu, semua terasa sia-sia. Gue patah hati untuk yang pertama kalinya. Mungkin kalian berpikir, "Lah, lo kan udah jadi temen deketnya dia, kenapa gak lanjut ngobrol aja?"

See, the thing about me is that I know my boundaries. I could even go as far as saying that I like them. A bit too much, perhaps, that at times it became a detriment to myself more than anything. Gue merasa kalau gue lanjut temenan dengan dia, SMS-an sampai larut malam dan sebagainya, I would feel slimy. It wouldn't sit right with me, knowing that I was pursuing something more than just friendship while acting like I wasn't. Gue gak bisa membohongi gue sendiri, dan gue juga tidak mau membohongi dia. And just like that, I made the executive decision to put a barrier between the two of us, completely putting a stop to our friendship.

Abis itu, gue jadi sering nyanyi "Orang ke-3"-nya HiVi! di kelas, diiringi oleh Bento yang main gitar. Galaunya ABG memang beda bro.

The next big loss is obviously my first "real" breakup. A cautionary tale of pride, ego, and the danger of being in the heat of the moment. Which is ironic, karena yang memutuskan hubungan itu adalah gue sendiri. I had never felt so helpless, so small, and so stupid. Setelah menjomblo selama 15 tahun, dengan wujud yang tidak menyerupai manusia, I don't know where I got the audacity to throw away someone that genuinely cared for me. Over nothing, too. I don't even remember what we were fighting about that night that led us to the breakup. And the reason for the breakup juga sangatlah sepele. I burned everything just because my pride was hurt. And I paid the price. 

It took me six more years to finally find someone new. Someone that could finally get me to say the L-word again, without experiencing a stinging pain in my head and chest.

Seperti yang kalian tau, gue menulis kalau keadaan gue lagi buruk. Memang gue udah sering bilang mau nyoba nulis kalo lagi seneng, atau keadaan lagi normal, tapi jujur, gue masih merasa susah untuk melakukan itu. Dan bener aja, sekalinya nothing's going my way, my creative juice just flows. But yeah, right now, I'm currently in a bit of a bad place. Gue sangat khawatir dan takut. Gue tidak mau kehilangan lagi. And the only outlet I have is this.

Comments

Popular Posts