Aku

 
Halo. Selamat pagi. Selamat siang. Selamat sore. Selamat malam. 

Aku tidak yakin arah, maksud, dan tujuan dari tulisanku ini. Mungkin sebuah surat terbuka untuk diriku sendiri. Diriku di masa lampau, masa kini, dan masa depan.

Jujur, sudah terlalu lama rasanya aku tidak menulis, apalagi dalam bahasa ibuku. Akan tetapi, aku merasa hal ini perlu aku lakukan, jadi mohon maaf sebelumnya apabila tulisanku terasa kaku dan canggung. 

Berkomunikasi dengan bahasa Indonesia membuatku merasa telanjang. Menurut bu dokter yang kutemui setiap minggu sepanjang semester ketigaku di masa kuliah, justru karena itu aku harus lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia. Untuk membantuku menjadi lebih terbuka, katanya. Aku tidak mengacuhkan anjurannya pada saat itu.

Akibatnya, seperti inilah jadinya aku. Aku yang selalu merasa terasingkan. Aku yang sulit menjalin hubungan dengan orang lain. Aku yang semakin lama semakin kecut terhadap dunia. Aku yang pendiam tapi narsisnya bukan main. 

Hidupku dipenuhi dengan amarah. Aku tidak tahu kapan tepatnya aku berubah menjadi seseorang yang ketus, tapi rasanya aku sudah menjalani hari dengan rasa pahit yang tak kunjung hilang seumur hidupku. Lucu, karena banyak orang yang aku temui berkata kalau aku terlihat sangat "damai" dan "zen". Di balik wajah yang datar dan ngantuk ini, terdapat keporakporandaan yang sudah berlangsung selama 25 tahun. Amarah yang sudah layaknya penyakit bawaan sejak lahir. Meskipun begitu, aku bukanlah seorang... pemarah. Iya, terdengar janggal memang. Aku sangat jarang menunjukkan rasa marahku. Ataupun emosi lain. Emosi yang aku rasakan aku hanya pendam. Aku tidak pandai menunjukkan perasaanku. Di saat senang, aku tidak bisa tersenyum dan tertawa lepas. Di saat sedih, aku tidak bisa menangis lega. Di saat marah, aku hanya bisa diam. Berekspresi di hadapan orang lain terasa membebankan dan aku dibesarkan untuk sebisa mungkin tidak membebani orang lain. Aku harus bisa mandiri. Aku harus bisa menopang semua beban ini sendiri, amarah sekalipun. Mencurahkan isi hati dan emosiku ke orang lain hanya akan membebani mereka, karena mereka juga punya keluh kesah tersendiri. Kenapa aku harus menambah beban mereka dengan bebanku? Aku kuat. Aku tidak butuh bantuan orang, siapa pun itu. Aku tidak boleh menjadi beban orang lain, lebih lagi orang-orang yang aku sayangi.

Kebiasaan yang buruk, bukan?

Sepertinya, setelah seperempat abad memendam emosi, dampaknya terasa juga. Aku merasa sangat lelah. Aku tidak punya apa-apa dan siapa-siapa. Aku merasa tidak layak untuk menumpahkan semua keluh kesahku ke orang-orang yang aku kenal, teman terdekatku sekalipun. Masalah-masalahku terasa sangat remaja dan tidak seharusnya seorang pria dewasa mengeluh soal hal-hal yang aku rasakan. Masalah percintaan, masalah keluarga, masalah pekerjaan, apa pun itu. Lagipula, sahabat yang sudah aku anggap seperti kakak kandungku sendiri sekarang sudah menikah. Ia sudah punya kepentingan yang lebih besar, mendengarkan curhatan sahabatnya hanya akan menjadi beban untuknya. Itu pun kalau dia masih menganggapku sahabatnya. Masih dianggap "teman" saja mungkin sudah untung buatku. Aku sering kali menyakiti perasaannya. Secara tidak sengaja, tentunya. Akan tetapi tetap saja, namanya sakit tetaplah sakit. Sengaja ataupun tidak. 

Aku takut. Seperti yang aku bilang tadi, aku secara tidak sengaja menyakiti seseorang yang aku sangat sayangi. Itu bukanlah kali pertama dan kali terakhir di mana aku secara tidak sengaja menyakiti perasaan orang yang penting di hidupku. Aku sadar, ketidakmampuanku dalam menyalurkan dan mengekspresikan emosiku dampaknya tidak hanya dirasakan oleh diriku sendiri. Orang-orang di sekitarku pun terkena cipratannya. Sahabat karib, kekasih, bahkan keluarga. Aku takut, suatu hari nanti emosi yang selama ini aku pendam akan meledak. Aku tidak mau menyakiti siapa pun, terlebih lagi orang-orang yang aku sayangi.

Entahlah. Dua puluh lima tahun tetapi aku masih merasa kekanakkan. Rasanya aku masih sangat jauh dari kata "dewasa". Aku tidak mau menyakiti perasaan orang-orang di sekitarku, tapi di satu sisi, aku tidak ingin sendiri. Aku ingin hidup bebas semauku sendiri, tapi aku juga ingin bisa membahagiakan seseorang, jadi orang yang bisa diandalkan. Susah ya memang, jadi orang banyak mau seperti aku ini hahah.

Ah, sudahlah. Tidak baik kalau aku merajuk terus. Memang sih, aku lebih lancar menulis di kala aku dalam keadaan sedih dan banyak pikiran, tapi kalau begini terus, kapan aku bisa maju?

Hidupku tidak semua buruk kok, untungnya. Malah akhir-akhir ini, lagi banyak hal-hal baik yang berdatangan. Definis "baik" itu relatif sih memang, tapi buatku sih cukup lah untuk dianggap baik. Tentu saja hal-hal ini aku sudah bicarakan di post sebelumnya, walaupun dalam bahasa Inggris. Aku tidak akan membuang waktu lagi dan menceritakan hal yang sama. Intinya, aku baik-baik saja. Aku hanya ingin mencoba saran bu dokterku dulu, sekalian juga mengasah kembali kemahiranku dalam menulis dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Oh, ngomong-ngomong soal Bahasa Indonesia yang baik dan benar, akhir-akhir ini aku semakin dibuat geram dan gemas. Oke, memang tadi aku bilang aku tidak akan lagi merajuk, tapi aku merasa ini adalah fenomena yang sangat penting yang entah kenapa semakin menyeruak, menyebar luas di kalangan masyarakat Nusantara. Mungkin efek globalisasi, mungkin sistem pendidikan kita yang semakin tidak jelas, tapi aku benar-benar tidak tahan dengan satu hal ini. Fenomena alam yang nampaknya hanya akan semakin parah.

Bukan, bukan COVID-19.

Penggunaan di-, ke-, dan -nya.

Tuhan, ampunilah dosa-dosaku, dosa dari kata-kata yang akan kugunakan di beberapa kalimat ke depan, tapi aku sudah tidak kuasa. Setiap aku membuka media sosial (sebut saja Twitter, Instagram), aku merasa seperti guru Bahasa Indonesia yang sedang mengoreksi karya tulis anak didiknya. Aku semakin salut dan hormat terhadap guru-guru Indonesia, karena tingkat kesabarannya sudah tidak bisa lagi diukur.

Aku, yang baru lima menit bergulir di Twitter, mungkin sudah ada 50 kali rasanya ingin berteriak "GOBLOKKKKK". Bayangkan kalau aku jadi guru selama lima tahun, bahkan lima bulan saja. 

Sebelum kalian protes, aku akan akui, aku pun masih seringkali salah dalam mengeja dan bertata bahasa. Baru-baru ini aku tahu kalau cara penulisan yang benar adalah "aktivitas", bukan "aktifitas". Aku juga baru tau kalau "detil" bukanlah ejaan yang formal, melainkan "detail".

AKAN TETAPI!!!!

Oh, bapak-bapak dan ibu-ibu, akan tetapi, penyalahgunaan di-, ke-, dan -nya itu sudah amat sangat tidak termaafkan di mataku. Mungkin karena frekuensinya yang sangat tinggi berkat media sosial yang membebaskan siapa pun untuk bersuara, tetapi semakin ke sini, semakin ngawur orang-orang ini kalau aku perhatikan.

Untuk kata kerja (VERB), di+kata kerja itu SERANGKAI atau DISAMBUNG. Untuk waktu dan/atau tempat, di (SPASI) tempat, alias DIPISAH. Sama halnya dengan ke-.

Jadi contoh, dilakukan, dibiarkan, dibuat, ditanggung, disalahgunakan, dianiaya, dikoreksi, ditulis, dibaca, dipertanggungjawabkan, dsb. SEMUA DITULIS SERANGKAI.

Sebaliknya, di sana, di saat, di kala, ke mana, di mana, di situ, ke rumah, di atas, di bawah, di ujung, ke laut, ke restoran, dsb. DITULIS TER-PI-SAH. Paham?

Bisa-bisanya ada orang, terpelajar sekalipun, bahkan yang membawa embel-embel "kreator" atau "penulis", masih salah dalam penggunaan "di-" dan "ke-". Malah ada yang penulisannya pakai tanda hubung/tanda strip, jadi "di-temukan" dan "di-restoran". MEMANGNYA AKUN-AKUN BESAR INI TIDAK ADA YANG NAMANYA "COPYWRITING"?? TIDAK ADA YANG NAMANYA TIM EDITORIAL????

DAN YANG PALING PARAH, untuk imbuhan -nya. Ini yang kadang bikin aku jambak rambut sendiri. Ibuku, sahabat-sahabatku, mantan pacarku, teman-teman kantorku, semuanya tidak luput dari kesalahan ini. Imbuhan -nya pakai spasi. Jadi tulisan nya seperti ini. Cara nya mereka menulis seperti ini nih. Di mana coba letak nya otak manusia-manusia ini? Gimana aku tidak gemas baca nya?

TOLONG YA, -NYA ITU SELALU DITULIS SERANGKAI!!!! DISAMBUNG!!!! SAYA SUDAH MUAK MELIHAT -NYA DIPISAH!!!!! Adapun pengecualian, di mana -nya digunakan untuk Tuhan, jadi penulisannya seperti "utusan-Nya", pakai tanda sambung dan "N" kapital. Satu lagi pengecualiannya adalah saat kata sebelumnya adalah singkatan atau bahasa asing, misal KTP-nya, SIM-nya, achievement-nya, price-nya. dsb.

TAPI SELAIN ITU SELALU, INGAT,  S E L A L U  ditulis serangkai.

Padahal, ini bukan tata bahasa tingkat tinggi. Sedari SD juga pasti sudah belajar bukan? Ah, ya sudahlah. Apa boleh buat, tidak semua orang menjunjung tinggi nilai dan estetika dari tata bahasa. Aku juga tau, aku kadang nyeleneh dalam menulis, tapi nyelenehnya gak sampe gini juga, ngerti ga sih?

Oke, cukup sampai di situ saja mengeluhnya.

Aku ingin berkarya. Hidupku sudah lama terasa tidak berwarna karena aku terlalu sibuk menjadi budak korporat. Aku kangen bisa menulis lagi seperti ini. Semoga ke depannya, aku bisa lebih sering dan lebih baik lagi dalam menulis. Sekian dulu, semuanya.

Sampai bertemu. Jaga kesehatan ya.

N.B. Aku tau kita sibuk dengan kehidupan masing-masing, dengan segalah hal "dewasa" apa pun itu bentuknya, tapi maukah kamu meluangkan waktu untuk makan siang bersama? Aku ingin mendengar cerita-ceritamu lagi. Aku merindukanmu, kawan.

-R.

Comments

Popular Posts