Ambassade Nights – Night 1: The Dark Ages
Setelah kelulusan, seperti yang sudah gue bilang
berkali-kali sebelumnya, waktu luang yang gue punya gak terbayangkan banyaknya.
Gue gak nyangka kalo ternyata, tanpa sekolah, hidup gue gak ada aktivitas sama
sekali. Banyak banget hari-hari di mana gue cuma bangun siang, makan, balik
tidur, bangun maghrib, solat, makan, dan tidur lagi. Dan ternyata, gue gak
sendiri dalam hal ini. Temen-temen gue juga banyak yang liburannya tidak terlalu
rame, termasuk temen-temen deket gue, Estrella dan si Laki.
Saat itu udah masuk bulan Ramadhan, yang berarti kita
bertiga menjalani puasa, yang berarti keseharian kita yang sudah membosankan
sekarang tambah membosankan karena gak bisa makan. Jadi seharian cuma bangun
sahur, tidur, bangun, bengong, buka, terus kalo gak tarawihan langsung tidur. Sungguh pemuda-pemuda calon penerus bangsa
yang produktif.
Kecuali Laki. Dia sih impor Singapur.
Anyways, lama-kelamaan kita muak dengan aktivitas
sehari-hari kita yang ga ada aktivitasnya sama sekali, terutama gue dan
Estrella yang jomblonya minta ampun. Laki masih punya cewek, jadi sekali-sekali
dia masih jalan sama ceweknya tersebut. Ya, gue tau, lagi bulan Ramadhan jalan
sama yang bukan muhrim. Pas siang bolong pula. Astaghfirullah hal ‘adziim.
Karena bosen mampus, Estrella pun memberikan idenya di group chat WhatsApp.
“Eh nginep apartemen gue yok”
Ide ini langsung gue sambut dengan hangat karena gue di
rumah udah bener-bener ga ada kerjaan selain ngabisin takjilan yang gue borong
dari masjid belakang rumah gue tiap buka puasa. Laki juga mengiyakan ide ini.
Sebenernya, ajakan ini juga terbuka ke dua temen kita yang ada di group chat tersebut, yaitu Bilbo dan
Pots. Tapi karena ada halangan yang berkaitan dengan agama dan ras, mereka gak
dibolehin sama orangtua mereka untuk menginap di apartemen Estrella.
Biar kita semua bisa ngumpul bareng, pada akhirnya kita
setuju untuk nonton dan makan malem/buka puasa di Lotte Shopping Avenue di
Kuningan, yang berdekatan dengan apartemen Estrella. Gue, Estrella, Laki, dan ada
satu lagi teman kita bernama Josiah setuju untuk nonton dan juga makan bareng.
Sayangnya, untuk Pots dan Bilbo, mereka cuma bisa ikut makan malem.
Kita berempat nonton Jurassic
World, film di mana Kris Pret naik motor berdampingan sama dinosaurus
layaknya geng motor yang berkeliaran di jalan-jalan ibukota kalo udah lewat
tengah malem. Hina banget ya, Kris Pret gue samain sama geng motor. Bayangin pria
kulit putih nan maskulin, ganteng, dan berotot naik motor, temenan sama
dinosaurus, eh, motornya motor bebek dua tak. Pake knalpot racing pula.
Ehm, maaf saya jadi ngelantur.
Singkat cerita, sesudah nonton, kita langsung makan. Kita
makan di restoran ramen. Sebelum gue lanjutin cerita ini, ada yang perlu kalian
ketahui. Semalam sebelum hari janjian, kita berlima (tidak termasuk Josiah)
sudah merencanakan semuanya matang-matang di group chat. Kita sudah tetapkan waktu dan lokasi pertemuan,
pokoknya everything’s set. Dan tentu
saja, Bilbo yang hidupnya penuh keraguan melontarkan pertanyaan yang membuat
kita semua lelah.
“Eh, tunggu, jadi kita janjiannya di mana nih?”
Laki, yang merasa bahwa Bilbo punya ingatan yang bagus,
menjawab dengan sarkasme.
“Di KemVil (Kemang Village) Bil, hahahahahahahahahaha”
Dan, apa jawaban Bilbo?
“Oh, alright”
Kita mengira bahwa at this point, he’s just playing along with the joke. Dan buat kita semua, jawaban
Laki itu sudah jelas bohong karena dia nulis “hahaha” yang panjangnya gak
manusiawi.
Jadi, kembali ke kedai ramen. Kita lagi duduk, nungguin
pesanan dan juga nungguin Pots dan Bilbo. Hape gue, Laki, dan Estrella berdering.
Notifikasi dari group chat.
Ternyata si Bilbo.
“Lo pada di mana?”, tanya si hobbit merem.
“Di lantai atas, lo emang di mana?”, tanya Laki
“Gue udah di lobi KemVil nih”
Bocah dongo.
Udah tingginya tidak memenuhi standar manusia normal, mata
merem, ternyata dongo pula.
Gue: “HAHAHAHAHAHA”
Estrella: “AHAHAHAHAHA”
Bilbo: “Where the hell are you guys?”
Laki: “Why did you go to KemVil tolol, we’re in Lotte”
Bilbo: “I thought you said KemVil you sh*t”
Laki: “No, I was joking man, what the heck”
Gue: “Bil kok lu tolol ye” ànot
helping
Estrella: “Didn’t you notice the really long laugh he typed
in? How do you not suspect anything from that”
Daaan chat kita terus berlanjut dan singkat cerita, Bilbo akhirnya
makan ramen sendiri di Kemang Village terus pulang.
Laki, yang menjadi biang kerok dari semua ini, merasa
bersalah terhadap Bilbo. Gue dan Estrella juga merasa gak enak. Tapi perasaan
itu hilang karena kita menyadari bahwa tingkat ketololan Bilbo sudah di atas
rata-rata, jadi kita semua setuju kalo gak ada yang salah dalam percekcokan
ini. Selesai makan, Josiah cabut, dan gue, Laki, Estrella, dan Pots pergi belanja.
Oke, mungkin belanja terdengar terlalu berlebihan. Kita cuma pergi ke
supermarket dan beli mi instan korea yang super pedes buat makan di apartemen
nanti, kalo lapar tiba-tiba menyerang.
Sayangnya, Pots yang tadinya mau nimbrung sebentar di
apartemen Estrella tidak jadi nimbrung karena dia rumahnya di Kelapa Gading dan
waktu itu juga udah lumayan malem. Dan supirnya juga udah pengen pulang. Yaudah
deh, akhirnya yang ke apartemen cuma yang mau nginep, yaitu gue, Laki, dan si
tuan rumah. Apartemen Estrella, The Ambassade,
gak jauh dari Lotte, tapi karena kita males jalan, kita numpang mobil Pots
sampe depan apartemen.
Dimulailah malam yang paling liar yang pernah gue lewati
dalam hidup gue.
Kita main PS4 yang udah dibawa Laki bareng bokapnya
Estrella. Hal ini dilakukan supaya bokapnya Estrella terkagum dengan tampilan
mulus PS4 dan dengan begitu, bokapnya akan tertarik untuk beli TV dengan bonus
PS4, dan Estrella pun bisa menjadi pemilik PS4. Dan percaya atau nggak,
Estrella sukses dapet PS4.
Yap, sungguh malam yang liar.
Ga ada bir, ga ada vodka, ga ada minuman keras apa-apa, cuma
kita bertiga, bokapnya Estrella, sama PS4 semaleman.
Bukan main liarnya.
Liat aja bukti-buktinya nih.
Party hard. |
Yap. Padahal, awalnya kita berencana untuk bablas nggak tidur, tapi seperti yang bisa dilihat di atas, Estrella tepar karena tidak sanggup menahan keliaran dari sleepover kita.
Karena udah mulai bosen main PS4 dan kita juga tinggal
berdua, gue dan Laki pun berusaha untuk tidur. Tidak berhasil. Dan apa yang
dilakukan remaja labil di tengah malem buta saat gak bisa tidur berduaan dengan
temen deketnya?
Sesi curhat. Yap. Honesty
Hours. That’s what happened.
Yeah, as some of you may have already known, this whole
thing, I did write it somewhere else.
At least 50 of you know what I mean, and have read the thing that I’m talking
about. Yep. This is it. This right here marks the beginning of the steep dive
that I went through for I don’t know how long. This is where the dark ages started getting really dark for me.
Yes, I do notice how overly dramatic that sounds, but Estrella and
Laki came up with that name, the dark
ages, so I just went along with it. Praktis juga, daripada bilangnya masa-masa tergalau Rory Afirianto, itu
panjang banget.
So, should I write the full honesty hour here? Eh, I mean 50
people is almost everyone I know, so technically everyone already knows, so I’m
just not gonna write it again.
Setelah semua itu berlalu, gak kerasa tiba-tiba waktu udah
menunjukkan pukul 3.30 pagi, udah masuk jamnya sahur. Kita bangunin deh si
Estrella, dan tebak kita sahur makannya apa.
Mi instan korea super pedas yang tadi kita beli di
supermarket.
Hal tersebut merupakan sebuah kesalahan besar. Kesalahan
terbesar gue, lebih besar daripada kesalahan gue yang lain. Seberapa parahkah mi ini? Gue sampe nangis. Pernahkah kalian ngeliat gue nangis? Exactly. Pokoknya saran untuk adek-adek semua: jangan beli mi instan korea yang
bungkusnya warna hitam buat sahur.
Karena belum puas (dan tidak bisa menghilangkan sensasi
pedas dari mulut kita), kita bertiga jalan kaki ke McDonald’s terdekat dan
makan sedikit lagi. Alangkah indahnya Jakarta dini hari. Jalanan sepi minta
ampun. Kita joget-joget di tengah jalan juga gak ada yang ngelindes.
Tapi, ada juga bagian serem Jakarta dini hari. Mekdi sekitaran jam segitu
dipenuhi orang-orang yang tampangnya lebih mencurigakan dari tampang gue.
Sepulangnya ke apartemen, efek mi super pedas mulai menghantui Laki. Dia mencret-mencret. Setelah selesai bermencret ria, kita bertiga tidur-tiduran di
kamar sambil mendengarkan musik dan juga cerita horor. Kita bertiga ketakutan,
baik yang bercerita maupun yang mendengarkan.
Tiga cowok yang jantan.
Pada akhirnya, kita bertiga kompak
tidur karena ngantuk yang udah gak tertahankan lagi. Dan itu baru salah satu dari beberapa malam yang gue habiskan
di apartemen Ambassade. And believe me, malam-malam setelahnya, di mana gue udah nggak lagi di dalam masa kegelapan, semua menjadi lebih tolol dari biasanya, which basically means those nights are simply autistic unforgettable.
Comments
Post a Comment