The Ships of Relation - I Don't Like Her

Reaksi pertama kebanyakan temen-temen gue saat denger gue pengen ke Jepang adalah:

"Wuih mau nyari cewek Jepang ya, Ror?"

Bukan makanannya, bukan budayanya, bukan universitasnya, tapi ceweknya. Dan, kalo udah ngomongin cewek dan Jepang, mereka pasti nyambung-nyambungnya ke satu topik yang tidak bermoral.

"Lo ke Jepang pasti cuma mau kimochi kimochi kan, Ror? Hahaha"

"Ror lo ke Jepang mau ketemu Miyabi ya? Minta tanda tangan dong buat gue, gue fans berat"

"Di Jepang mau nonton hentai orisinil ya Ror? Gue nitip dong kalo lo pulang"

"Hoi gue ke Jepang mau nimba ilmu, bukan nimba dosa sompret"

Yap. Dunia film dewasa Jepang. Bukannya nanyain makanan, budaya, or the university itself, malah bokep yang dituju Memang orang-orang tidak terpelajar, temen-temen gue ini.

Balik ke masalah nyari cewek, temen-temen gue juga suka tiba-tiba ngomongin sifat-sifat cewek Jepang ke gue, entah dari mana datengnya.

"Ror, how's life man?", sapa temen gue di sekolah.

"I'm good man. Intern's almost done, just can't wait to go to Japan hahaha", jawab gue.

"Azek so nice dude. Lo tau gak, cewek Jepang tuh ye, nurut banget Ror. Mereka kalo cowoknya nyuruh apa-apa dilakuin men"

??????????
"He? Oke? Kenapa gue harus tau ini ya?", jawab gue, sangat bingung.

"Yaaa gapapa Ror, kan siapa tau"

"Hah? Gue ke Jepang bukan mau cari jodoh pak, belom mampu saya menghidupi keluarga sendiri"

"Hahahaha ya just a fact Ror, buat nanti-nanti"

Gak cuma temen-temen gue, temennya nyokap gue juga sama aja. Satu hari, gue disuruh nyupirin nyokap untuk jemput adek gue di sekolahnya. Karena kita nyampe kecepetan, kita pun makan di warung yang ada di deket sekolah adek gue. Dan, secara gak sengaja, kita ketemu sama keluarga temen SD gue dulu. Sebut aja namanya Agi. Gue dan Agi dulu seangkatan, tapi seperti yang kalian tau, gue masuk kelas aksel dan seterusnya, dan seterusnya, jadi kita gak terlalu deket. Tapi, nyokap gue dan nyokap dia beda cerita. Mereka cukup deket.

"Eh Rory jadi kuliah ke mana?", tanya nyokap si Agi.

"Aku jadinya ke Jepang tante, nanti bulan Maret", jawab gue sopan.

"Wuiih ke Jepang? Eh, ngomong-ngomong Jepang, tau gak sih mbak", jawab nyokap si Agi, yang lalu beralih ngomong ke nyokap gue.

"Cewek-cewek Jepang itu terkenal baik-baik lho, manut sama suami".

HEH?

Serasa deja vu jadinya ini gara-gara perkataannya nyokapnya si Agi.

Gak tau kenapa, gue yang bakal "sekolah" di Jepang di telinga orang terdengar seperti "pelarian Rory dari fakta kalo cewek-cewek Indonesia gak ada yang mau sama dia".

But yeah, at that time, I haven't really told anyone about Agar. Cuma nyokap dan beberapa temen deket gue yang tau, jadi tiap ngobrol dengan orang-orang selain mereka, gue harus pura-pura belom punya inceran. Gue juga play along with the joke dan mengiyakan perkataan mereka kalo salah satu tujuan gue ke Jepang emang buat nyari cewek.

Setelah beberapa minggu di Jepang, I was quite sure of what I said in the last post. With people only saying "yes" and "uh huh" and friggin "sousou" or nodding to whatever I say, I can definitely wait for Agar. I can't even keep a conversation goin for more than 10 seconds, let alone getting a girlfriend. I've tried socializing, getting the balls to initiate a conversation with new people, and that's the result. What did I do to deserve this, God.

Di post sebelumnya, gue udah pernah cerita kalo gue ikutan klub Habitat for Humanity, sebuah klub volunteering. Dari meeting pertama aja, gue jadi banyak kenal dengan senior gue, but I haven't had that friend that I can just talk to without having to think twice about what to say. 

Yet.

Meeting Habitat diadakan seminggu sekali, tiap hari Rabu. Di hari meeting ke-2, gue, yang ada kelas pagi, balik tidur setelah kelas gue selesai. Bangun-bangun, cek hape, udah jam 4 sore. Meeting mulai 4.05. Gue loncat dari kasur, cuci muka, semprot deodoran, pake sepatu, dan langsung ngibrit ke tempat rapat diadakan. Cuma telat 5 menit, yang dalam standar Indonesia, itu masih kepagian.

Tapi untungnya, walaupun telat 5 menit, rapatnya belom dimulai. Gue pun duduk, tarik nafas, dan liat-liat sekeliling. And then I noticed, there was someone I didn't see on the first meeting. Cewek, rambutnya ikal, dan tampangnya jelas bukan orang Jepang. In my opinion, at least. Tapi matanya kok agak sipit? Meskipun manusia ini tidak jelas asalnya, gue, yang pada saat itu masih sibuk nyari nafas, gak terlalu peduli dengan latar belakang orang baru ini.

Ternyata, banyak anggota yang datengnya lebih telat dari gue. Gue nyesel udah mempertaruhkan nyawa gue untuk terlihat seperti anggota baru yang punya tekad besar. Dan, dari beberapa orang yang dateng itu, banyak yang gak ada di rapat minggu lalu. Meskipun begitu, mereka kelihatannya udah saling kenal dengan anggota-anggota lain, jadi gue asumsi kalo mereka emang udah anggota lama, cuma minggu kemaren aja gak dateng. Lain halnya dengan cewek-yang-tidak-terlihat-seperti-orang-Jepang-tapi-agak-sipit tadi. Dia masih celingukan dan lebih sibuk dengan henfonnya, jadi, berdasarkan analisis gue yang jeli, dia anggota baru. Nggak tau deh angkatannya sama kayak gue, tapi yang pasti dia baru di klub Habitat.

Gak lama setelah itu, rapat pun dimulai. Di setiap rapat, ada kebiasaan di mana kita dibagi jadi grup-grup kecil biar kalo diskusi lebih gampang dan bisa dapet lebih banyak feedback. Anggota baru, termasuk gue, disuruh berdiri dan ngomong nomer dari satu sampai lima. Setelah itu, gantian yang anggota senior melakukan hal yang sama. Abis itu, orang-orang dengan nomer yang sama jadi satu kelompok. Daaaan seperti yang sudah kalian perkirakan, I was in one group with the new girl. Gue duduk sebelah dia.

Anggota senior pun meminta kita untuk memperkenalkan diri. Gue pun mulai pertama, abis itu giliran dia yang memperkenalkan diri.

"Hi, my name is Panadol, from Thailand. I'm a third semester student. よろしくお願いします (nice to meet you)"

Now I know the first thing that came into your mind when you read the word "Thailand" itu pasti "cewek boongan nih".

How do I know? Soalnya itu juga hal pertama yang gue pikir.

Setelah itu, gue mulai ngobrol basa-basi ke dia, dan, tidak seperti murid kampus gue kebanyakan, she can communicate like a freakin normal human being. Bahasa Inggrisnya juga lancar dengan sedikit aksen, but compared to others I've met, ini jauh lebih mending. Ada salah satu temen kelas bahasa Jepang gue dari Myanmar yang kalo ngomong, gue harus minta dia ngulang minimal tiga kali dulu baru gue ngeh dia ngomong apa.

"Oh, hey Rory"

"Eh, hai there <insert Burmese name here>, what's up?"

"I jas kem from errr ma seukeu"

He? Maseukeu? Apa itu? Bahasa Sunda? Kok orang Myanmar bisa bahasa Sunda?

"What abot yu, wheya ayu going?"

"Err oh I euuh, I'm just going to my club activity right now hahahah", gue jawab, masih mencoba menerka apa itu maseukeu.

"Aah wasseukeu?"

Wasseukeu? Wasseukeu? Oke, sampai di sini, gue bener-bener berpikir kalo dia setengah Sunda, karena apapun yang dia katakan itu, kedengerannya kayak kosakata Sunda. Dengan canggung, gue pun menjawab,

"Euuuuuhh sorry, what?"

"Wasseukeu ayu going to?"

"Errrrrrr wasseukeu?"

"Yes, wat club ayu going tu?"

"OOOOOOOOH", gue pun sadar maksudnya dia apa.

"WHAT CIRCLE? OOH OKAY, BASKETBALL CIRCLE AHAHAHA HAHAHA", jawab gue, entah kenapa agak seneng bisa memecahkan misteri dibalik aksen tebel temen Myanmar gue.

"Aaah aisii, okey then, si yu laytee"

Jadi ya, maseukeu itu maksudnya "my circle" alias klub yang dia ikut, dan wasseukeu itu "what circle". Hadeuh, mbak, kok yo bikn pusing kamu ini.

Oke, gue jadi ngelantur jauh banget, balik ke cerita.

Seperti yang gue bilang tadi, dia tidak merespon perkataan gue dengan hanya satu kata, atau cuma ketawa setengah hati dengan menghembuskan nafas kayak lo abis keselek. Mulai dari basa-basi ngambil jurusan apa, hidup di Jepang gimana, bahasanya udah lancar apa belom, dan lama kelamaan, kita jadi ngobrol aja tentang banyak hal. Gue nanya sesuatu tentang dia, dia jawab, terus gantian dia yang nanya, gue yang jawab. dan seterusnya.

Dia cerita kalo dia sempet homestay di Kanada selama waktu yang relatif lama, yang mungkin menjadi alasan di balik bahasa Inggrisnya yang lancar dan aksennya yang gak terlalu kental. Dia juga cerita kalo dia ngambil kelas Bahasa Indonesia, dan nyoba-nyoba frasa sehari-hari Indonesia ke gue.

"Selamat sore, apa kabra", kata si Panadol dengan muka bangga.

"Hahahaha it's kabar, not kabra", jawab gue.

"Oh, okay, I'm still so bad. A-pa ka-bra", kata dia lagi, kali ini lebih lambat.

"Hahaha you're doing it again! It's ka-bar"

"Ahahah argh I'm sorry, okay, let me try again. A-pa, ka..br....bar?"

"There you goo, good job, A+ for you"

"Yess thank you, no, I know it's bad hahaha", kata dia merendah.

Meeting berlangsung dengan lancar, tapi gue, Panadol, dan dua temen Thailand-nya pulang duluan, karena kita gak kuat meeting lima jam. Ya, meeting mingguan kita berlangsung dari jam 4.05 sore sampe kira-kira jam 9 malem. Kadang lebih. Kita berempat cabut jam 6.30 sore.

Saat itu, gue masih tinggal di asrama kampus gue, yang jaraknya gak nyampe 5 menit jalan dari kampus, sedangkan dia udah tinggal di downtown, jadi  di tengah-tengah jalan keluar kampus, kita pisah. Dia ke halte bus, gue ke asrama. Tapi, gue semaksimal mungkin menggunakan waktu jalan dari kampus ke halte bus untuk ngobrol dan lebih tau banyak tentang si Panadol. Untungnya, Panadol dan teman-temannya kalo jalan gak cepet-cepet, jadi gue bisa dapet sekitar 3-5 menit mentok. Sayangnya, temen-temennya lebih hobi ngoceh dibandingkan Panadol.

"Soo you guys were in the same high school?", tanya gue ke mereka, walaupun gue nyoba ngarahinnya ke si Panadol.

"Yeah, w-", jawab si Panadol, sebelum salah satu temennya nyerempet bagaikan Kopaja di tengah sibuknya jalanan Jakarta.

"Yesss we were, we are close friends so we decided to blablablablablabla", jawab temennya si Panadol panjang lebar, dengan aksen yang jauh lebih kuat dibandingkan Panadol.

Gue, yang tau sopan santun, tentu saja merespon apa yang dia katakan dan melanjutkan perbincangan, tapi dalam hati gue udah pengen nempelin lakban di mulut temennya ini.

So yeah, sesampenya di halte bus, dadah-dadahan, udah deh gue lanjut jalan ke asrama sendiri.

Selama jalan itu, gue mulai berkata ke diri sendiri dalam kepala gue, layaknya meninjau ulang apa yang baru terjadi selama meeting dan setelahnya. "Orangnya baik, diajak ngomong juga enak, dan paling penting, suara dan aksennya gak annoying. Kuping gue gak harus gue korbanin kalo ngobrol sama dia", pikir gue, dan gue lanjut mikirin hal-hal baik yang gue liat dari Panadol. Gue juga bilang ke diri sendiri, "baik sih, tapi nggak lah, gue nggak suka hahah, lagian dia lebih tua dari gue juga".

Sejak hari itu, gue biasanya ketemu Panadol seenggaknya sekali seminggu, atau dua kali kalo lagi hoki. Satu pas rapat umum hari Rabu, satunya lagi hari Jumat, di rapat projek. Kalo lagi hoki banget, gue ketemu dia di kampus pas jam pergantian kelas dan mentok cuma saling sapa. Kita juga jadi makin deket, karena di tiap rapat, gak banyak anggota yang bahasa Inggrisnya lancar dan bisa diajak becandaan. Kalo ngobrol juga udah gak mikir lagi, topik juga udah asal-asalan dan gak lagi formal. Ini emang gak penting, tapi ada satu hal yang dia ceritain ke gue. Dia half Chinese. Pantes rada sipit.

And for some reason I'm starting to feel like I've had a subconscious preference all along.

Pelan-pelan, gue ngerasa kalo gue mulai lebih menantikan hari Rabu dan hari Jumat, dan tiap kali Panadol gak dateng, gue merasa lemes dan pengen cepet pulang dan tidur. Di dalem kepala gue, gue masih berpikir kalo ini cuma gara-gara emang di hari-hari tersebut, kelas gak banyak, dan gue lemes hanya karena kelas yang ngebosenin atau capek sehari-hari aja, bukan karena alasan lain. Gak mungkin gara-gara cewek. Gak mungkin gara-gara Panadol.

Until one day, my friend and I just finished our last class of the day, dan kita laper bukan main. Kita pun memutuskan untuk makan di kantin, and guess who else was there. Panadol dan satu cowok yang gue gak kenal siapa, duduk tepat di seberang meja gue dan temen gue. Gue pura-pura gak liat, karena gak mau bikin canggung, siapa tau cowok tersebut ada hubungan spesial dengan dia. Si cowok tiba-tiba nunjuk ke arah tempat beli makanan terus pergi, jadi gue asumsi dia mau beli makan. Pas udah pergi, si Panadol tau-tau manggil gue dari mejanya.

"Eh, Roryy", panggil dia, sambil dadah-dadah ke gue, mencoba membuat gue nengok.

"Oh, heyy Panadol", jawab gue dari meja gue.

"Uuuuh I'm so tired", kata dia, ngeluh.

Sampe di sini, gue tau kalo kita ngomong dari jauh gini gak enak banget. Jadilah gue bilang ke dia,

"Errr okay, wait", sambil berdiri dari kursi gue.

"Ke mana lo?", tanya temen gue.

"Itu ada temen gue, mau ngobrol bentar", gue jawab.

"Ooh 'temen' ya? Yakin temen doang?", kata temen gue dengan nada nyindir.

"Ck iye nyet, temen doang. Temen Habitat."

Gue pun duduk di kursi yang lebih deket dari Panadol, dan dia cerita tentang susahnya kelas bahasa Indonesia. Dia bilang pengucapan kata-kata bahasa Indonesia susah, dan hal tersebut dia tunjukin lewat kata "cuek".

"Look, how do you say this word? I know it means ignorant, but I don't know how to say it"

"Cuek?"

"Cueke?"

"HAHAH no no, cu-wek"

"Cue-wek? Argh wait, no no no wait, let me try again, cuuu-wek?"

"Ahahaha yeap, that's it, there you go"

Dan entah dari mana datangnya, si cowok yang tadi beli makan nongol. Panadol pun mengalihkan perhatiannya ke si cowok dan bilang, "kamu cuuwek!"

Nyut. Perut gue tiba-tiba mules. Entah kenapa denger dia bilang "kamu" ke si cowok bikin gue begidik tidak jelas, meskipun gue tau dia pake "kamu" karena emang dia diajarin di kelasnya pasti pake aku-kamu, bukan karena alasan lain. Perasaan apa pula ini.

"Oh by the way, he's my friend from Japanese Foundation class, he's also Indonesian", kata Panadol ke gue.

"Ah I see, well, I guess I'll just go now. My food's getting cold, soo", jawab gue, berusaha sekeras mungkin untuk melarikan diri dari situasi yang tidak mengenakkan ini.

"Okay then, see you"

"Yeap, see you"

So I sat back down with my friend, ate my food, and for some reason I felt relieved and thought to myself,

"Hahah wew, untung cuma temen tuh orang"

Dan setelah pikiran itu lewat, gue pun sadar. Setelah berhari-hari, berminggu-minggu berusaha menyangkal ide yang gue gak mau jadi kenyataan, gue sadar.


Fak.  

I have a crush on her.


Comments

Popular Posts