Pelarian


Halo halo. Udah lumayan lama juga ya kita gak ngobrol. Semakin hari, menulis semakin terasa seperti teman lama yang hanya gue sapa apabila hal-hal yang biasa dipakai untuk mengalihkan perhatian gue dari huru-hara kehidupan sudah tidak lagi menghibur.

Gila, tata bahasa Indonesia susah bener. Udah bertahun-tahun sok-sokan English sampe bahasa kandung sendiri terlupakan. Rasanya kaku banget pake bahasa sendiri. Ah, ya sudahlah, yang penting sekarang gue menulis ini.

Untuk pembaca non-Indonesian, mohon maaf tapi post ini gue mau pake bahasa Indonesia full. Kalau kalian tertarik, bisa dicoba kok baca-baca tulisan gue yang lain, banyak yang pake bahasa Inggris.

Memang benar, belakangan ini, gue merasa otot-otot penulis gue sudah sangat menciut. Beberapa projek menulis gue mulai, tetapi tidak ada yang terselesaikan. Adapun yang terselesaikan hanya sekadar curahan hati di kala sendu, atau di saat sedang banyak pikiran. Kalau gue perhatikan kembali, memang sebenarnya masa-masa gue aktif menulis merupakan masa-masa yang relatif... tidak stabil buat gue. Dari sisi emosional, mental, apa pun itu, kalau ada satu atau lebih aspek kehidupan yang tidak selaras dengan yang gue idealisasikan, gue menulis.

Lambat laun, kebiasaan menulis gue berubah fungsinya. Yang awalnya merupakan sebuah hobi, sebuah aktivitas yang gue lakukan di waktu senggang untuk sekadar... yah, sekadar menulis, menjelma menjadi suatu bentuk pelarian. Eskapisme, kalo mau pake bahasa kerennya.

Menulis menjadi suatu aktivitas yang gue kaitkan dengan emosi negatif. Kegalauan, kesedihan, gundah gulana, ketidakpastian akan masa depan, semua menjadi bahan bakar yang mendorong gue untuk selalu menulis. Kalau kalian perhatikan, beberapa tulisan-tulisan yang paling ciamik gue publikasikan di masa-masa hidup gue relatif berat dan banyak cobaan. Saat baru lulus SMA, atau di tahun-tahun gue kuliah, menulis menjadi satu-satunya cara gue meluapkan segala hal yang ada di dalam benak dan hati.

Tulisan gue juga menjadi medium untuk bisa "dilihat". Gue bukanlah orang yang terlalu terbuka, tidak supel, tidak pandai bergaul. Kalaupun gue mau curhat, teman gue juga tidak banyak. Gak enak juga kan kalo tiap hari curhat sama teman-teman dekat gue, mereka masing-masing punya kesibukan sendiri, kehidupan di luar mendengarkan curhatan tidak penting gue. Alhasil, blog ini menjadi satu-satunya tempat gue merasa bebas. Bebas berbicara tentang apa saja, bebas berkeluh kesah, bebas bercerita, bebas menertawakan diri sendiri. Tujuannya memang hanya untuk meringankan beban, bagaikan berdiri di pantai dan berteriak sekencang-kencangnya ke laut. Tidak berharap ada yang mendengarkan ataupun menanggapi, namun dari waktu ke waktu, ada saja orang yang bersinggah untuk membaca, dan dari situ mereka memulai percakapan dengan gue. Memang jumlah orangnya tidak banyak, tapi itu pun sudah cukup untuk menjadi pertanda bahwa masih ada yang "melihat" gue. 

Gue masih kasatmata. 

Gue masih hidup.

Terima kasih banyak, untuk orang-orang yang barusan gue sebut, yang masih suka bersinggah. Kita bukan sahabat karib, tapi percayalah, kunjungan kalian sudah berhasil mendorong gue menjalani hari-hari kelabu yang rasanya tidak berujung.

Hidup dari gaji ke gaji, menyeimbangkan sekolah dan tiga (ya, tiga) kerja sambilan, dan yang paling sering menjadi topik tulisan gue, mengejar "cinta" tanpa peduli apa dan siapa. Mengejar tanpa arti, tanpa maksud, tanpa tujuan akhir. Berharap hanya untuk dikecewakan, walaupun dari awal gue sudah tau akhir dari ceritanya.

"Crash and burn."

Sejujurnya, gue gak bisa menemukan ungkapan dalam bahasa Indonesia yang lebih cocok dari itu. Mungkin gue sadar, mungkin tidak, gue gak bisa bilang secara pasti, tapi setelah gue masuk kuliah, gue seakan jadi gemar melakukan hal tersebut, crashing and burning. Sensasi adrenalin yang membuat jantung gue berdebar-debar, tanpa perlu komitmen apa-apa. Gue layaknya pecandu. Berkenalan dengan seseorang yang gue sukai, mencoba (atau mungkin "mencoba") mendekati mereka, sadar bahwa mereka tidak mungkin membalas perasaan gue, dan akhirnya jatuh kecewa. Siklus yang terus bergulir. 

Di satu sisi, memang gue pengen banget punya pasangan di masa itu. Di sisi lain, entah kenapa gue merasa kalau gue selalu menyabotase diri sendiri dari awal. Karena setiap kali gue gagal menemukan "cinta", di dalam benak gue selalu ada yang berkata, "Wah, bisa jadi materi yang bagus nih".

Emang kayaknya dari dulu musuh bebuyutan gue adalah gue sendiri.

Akan tetapi, setelah gue lulus kuliah dan pulang ke Tanah Air, hidup gue sudah tidak lagi bergolak. Ombak dan angin kencang yang menerjang dengan tiada ampun selama empat setengah tahun gue merantau nampaknya sudah mereda. Laut yang gue layari kini jauh lebih tenang. Badai hujan tentu masih datang bergilir, tapi tidak sekuat dulu, tidak sampai membuat kapal gue ombang-ambing.

Gimana nggak, sesampainya gue di Nusantara, gue mendapat pasangan, gue juga mendapat pekerjaan yang stabil. Gue sudah bukan lagi remaja kesepian di ranah asing yang tinggal di kostan sempit (yang tetangganya sering "berisik" di malam hari). Gue tidak perlu lagi nyambi tiga pekerjaan hanya untuk hidup. Kecemasan tentu masih ada, tapi jauh, jauuuuh lebih sedikit dibanding dulu. Semuanya terasa nyaman. Semuanya terasa stabil. Semua terasa...

Sedikit membosankan.

Iya, tau kok tau, gue kedengerannya kayak tidak berterimakasih banget, pacar udah punya, kerja juga punya, kok bisa-bisanya bilang bosen?

Susah menjelaskannya, tapi yah, gitu.

Rasanya kayak Stockholm Syndrome, karena gue tau dulu gue merana. Akan tetapi, kalau gue mengingat-ingat kembali masa-masa tersebut, yang muncul adalah perasaan rindu. Memang gila ya otak manusia, pantes aja kita selalu diiming-imingi untuk jangan terlalu sering-sering berkunjung ke masa lalu. Bahaya banget.

Tentu gue sadar kalau perasaan rindu gue akan masa yang sudah lampau bukanlah perasaan yang harus gue tanggapi, tapi yah, gue gak bisa bohong, memang ada keseruan dari semua ketidak pastian itu. Ditambah juga sensasi crash and burn yang mendebarkan. Melihat ke belakang, semua terasa bagaikan mimpi. Dan layaknya mimpi, masa lalu bukanlah tempat yang patut untuk ditinggali. Sudah saatnya gue bangun dan kembali menjalani kehidupan.

Gue mau kembalikan lagi topiknya ke "menulis". Seperti yang gue bilang di awal, menulis buat gue sudah seperti pelarian, dan gue mengasosiasikan menulis dengan emosi-emosi dan peristiwa-peristiwa negatif. 

Oke, mungkin emosi negatif masih banyak, gue masih dipenuhi amarah dan kebencian, bagian itu masih belum berubah. Meskipun begitu, gue tidak lagi merasa perlu "berlari". 

Gue sudah punya pasangan sekarang. Adapun masalah yang gue hadapi, gue bisa sampaikan keluh kesah gue ke dia. Hidup gue yang sekarang juga relatif lebih stabil tidak banyak mempersembahkan gue dengan peristiwa yang bisa dihubungkan denga emosi-emosi tersebut. Masalah-masalah yang gue hadapi sekarang sangatlah "dewasa".

Kalo dulu gue ada masalah di tempat kerja, berarti ada pelanggan mabuk yang muntah di lantai restoran tempat gue bekerja, bisa dijadikan bahan tulisan. Kalo sekarang gue ngomongin masalah tempat kerja...

Manager semprul, kerjaan numpuk, deadline besok, dan sebagainya. Ngebosenin banget. Masalah-masalah tipikal budak korporat. Gak seru.

Karena itulah, belakangan ini gue kesusahan mencari topik menulis. Transisi dari dewasa muda yang bekerja sebagai lifeguard, guru bahasa Inggirs, dan waiter restoran ramen dengan hobi "crash and burn" ke dewasa agak muda yang berusaha keras untuk tidak jadi sampah masyarakat ternyata menjadi rintangan yang cukup besar untuk aspirasi menulis gue.

Walaupun begitu, jujur, gue masih sangat ingin dan sangat senang menulis. Seperti yang sudah gue tuturkan di post "A Flicker of a Forgotten Dream", gue masih punya semangat untuk mengejar mimpi gue, yakni mempublikasikan hasil karya gue kelak.

Gue masih mau mencoba. Gue mau melewati writer's block yang gue sedang hadapi saat ini. Writer's block dan juga keseharian gue yang udah sibuk karena kerja. Jadi sebenernya masih banyak rintangan.

Ok tapi gak boleh gitu, gue harus optimis, harus ambisius. This is nothing but a pebble on the road. I will overcome it. I'm gonna have to if I were to make a name for myself.

Sekian dulu untuk sekarang ya. Besok pagi masih harus kerja nih.

Comments

Popular Posts