FUK✈CGK – Snippets from Spring Break 2018 (pt. 1)


Imagine having a significant other.

That'd be nice.

Whoa, hey, hello, hi, ¡Buenos Dias Mandy! Didn't see you there, excuse my constantly meandering train of thought.

What's up everyone, 𝕴 𝕯𝖔𝖓'𝖙 𝕿𝖍𝖎𝖓𝖐 𝕴 𝕮𝖆𝖓 𝕳𝖆𝖓𝖉𝖑𝖊 𝕴𝖙 𝕬𝖓𝖞𝖒𝖔𝖗𝖊 here, once again, sending out a cry for help that no one will ever notice, please, someone, anyone back in business, posting low quality, public online diary entries for everyone to read. Sudah lama tidak bertemu ya, aku kangen lho. Gak kerasa gue udah memasuki tahun ke-3 kuliah, tahun depan udah tahun terakhir, dan tahun setelah itu gue lulus, dan tahun berikutnya gue mungkin udah bakal duduk di depan layar komputer, membusuk di dalam kantor, menyelesaikan pekerjaan yang gue tidak sukai, dan, tentu saja, masih jomblo hahahahahahaha haah, betapa indahnya hidup ini.

Oke, ini baru mulai aja udah curhat, maaf, that wasn't a good start. So yes, what's happened in the past month or so? Spring break happened. Gue pulang ke tanah air tercinta, Indonesia. And yeah...I dunno what else to say, really, so here goes.

Akhirnya, setelah dua semester yang tiada ampun, libur musim semi pun tiba, dan gue kembali pulang ke nusantara kebanggaan. Musim gugur dan musim dingin yang...well...dingin telah gue lalui, dan akhirnya, gue bisa kembali ngerasain anget-anget tropis Indonesia.

Berbeda dengan tahun lalu, di mana gue cabut di pertengahan bulan Februari, kali ini gue memutuskan untuk balik di awal bulan Maret. Hal ini gue lakukan karena berdasarkan pengalaman tahun lalu, gue yang kurang pandai bikin rencana (dan bersosialisasi dengan manusia lain), menghabiskan sebagian besar dari waktu gue di Jakarta nggak ngapa-ngapain di rumah. Gue juga jadi sering dapet dinas nyupirin bokap, nyokap, atau adek. Alhasil, tahun ini gue merasa kalo satu bulan di Indonesia udah cukup.

Gak cuma itu, tahun ini, meskipun cuma sebulan, gue juga kurang lebih udah tau mau ngapain aja saat gue pulang. Okay, l-look, I never said I planned them well, but at least I had a rough idea of what to do, yang menurut gue jauh lebih mending dari tahun lalu. Beberapa hal utama yang gue mau lakukan adalah sebagai berikut:

1. Memperbarui paspor

2. Nengok Eyang Papi (eyang dari nyokap) di Semarang

3. Ketemu Dimas (sahabat dari SMP kelas 8)

4. Ketemu Raga (satu lagi sahabat dari SMP kelas 8) di Bandung bareng Dimas

5. Main basket bareng mereka

6. Kawin MAKAN. SAMPE. PUAS.

Ya, memang, rencananya gak keliatan bakal ngisi sebulan gue di Indonesia, but as it turned out, it did.

Jadilah, pada hari Jumat, 2 Maret 2018, pukul 3 dini hari waktu standar Jepang, gue berangkat dari rumah menuju ke halte bus bandara. Pesawat gue dijadwalkan take-off pukul 9.30, jadi gue booking tiket bus yang berangkatnya pukul 5.30, karena dari kota gue, Beppu, ke Bandara Internasional Fukuoka memerlukan sekitar 2 jam perjalanan. Halte bus tersebut jaraknya sekitar 4.5km dari rumah gue, dan bus kota belom beroperasi sahur-sahur gini, jadilah mau gak mau gue jalan dari rumah ke halte. Tapi tenang, sebelom lo mikir "gilak 4.5km jalan kaki?! Mending mati", di Jepang beda sama di Jakarta. Di sini, jalan untuk pejalan kakinya luas, jambret juga jarang, jadi tengah malem buta pun kalo lo mau keluyuran insyaallah selamat sehat sentosa. Selain itu, udaranya saat itu juga masih relatif dingin, jadi jalan jauh juga gak terlalu kerasa. Beda banget kan, sama Jakarta? Kalo di Jakarta, jalan 500m aja mungkin udah mandi keringet, bau ketek, komplikasi paru-paru karena polusi, henfon dan dompet juga udah wassalam. Memang benar perkataan orang-orang, Jakarta keras.

Gue sampai di halte sekitar pukul 4.45 pagi. Karena masih ada waktu, gue memutuskan untuk ke Seven Eleven yang letaknya gak jauh dari halte untuk membeli sarapan dan satu kaleng hot chocolate. Setelah menunggu beberapa saat, bus tiba tepat waktu, dan setelah duduk di kursi bus, gue colok earphone, setel lagu, langsung keok. Hampir sepanjang perjalanan gue habiskan untuk ngiler, untungnya gue duduk sendiri, jadi gak bikin orang ilfil. Ada kemungkinan gue ngorok sih, jadi bisa aja orang-orang di bus ilfil sama gue, tapi sepengetahuan gue, gue bukanlah tukang ngorok, jadi ya harap-harap cemas lah, semoga aja nggak.

Sesampainya di bandara, waktu sudah menunjukkan pukul 7.50, yang berarti loket check-in buat penerbangan gue udah dibuka. Gak membutuhkan waktu yang lama sampe gue akhirnya menemukan loket maskapai penerbangan gue, China Eastern Airlines, dan langsunglah gue check-in, masukin koper, ambil boarding pass, udah deh tinggal nunggu. Jalur penerbangan gue gak langsung Fukuoka-Jakarta, gue menclok dulu di Shanghai sekitar 7 jam. Yap, apapun gue lakukan demi tiket pesawat murah. Tapi pada awalnya, gue gak terlalu masalah transit lama, karena gue bepergian sendiri, jadi gak ada resiko orang rewel, dan gue juga bawa banyak hal yang bisa jadi bahan hiburan, seperti leptop, 3DS, dan juga beberapa novel untuk dibaca.

Long story short, it was finally boarding time, and I was off to Shanghai, China.

Sesampainya di Shanghai Pudong Airport, gue mengamati suasana di luar pesawat, karena ini pertama kalinya gue ke Tiongkok. Walaupun cuma transit, tetep aja, gue penasaran, apakah negeri ini seindah yang digambarkan di film-film Kung Fu yang gue tonton saat kecil? Sayangnya, cuaca di hari gue transit di sana tidak memberikan aura Boboho yang gue iming-imingi, langitnya kelabu, hujan juga turun rintik-rintik. Gue pun langsung berjalan menuju konter Connecting Flight, dan untungnya, gue gak perlu check-in lagi, jadi gue langsung diarahkan ke area tunggu.

Layaknya bandara, untuk masuk ke area boarding, kita harus melewati security check, dan di bandara Shanghai Pudong, ceritanya juga sama. Bandaranya gak terlalu rame sih hari itu, tapi tetep aja, namanya juga bandara, gue harus antre di security check-nya. Di antrean tersebut, ada beberapa orang Jepang juga yang sedang bertamasya, sekelompok cowok yang umurnya gak jauh lebih tua dari gue. Gimana gue bisa tau mereka orang Jepang? Well, pertama, mereka ngobrol pake bahasa Jepang, dan gue ngerti bahasa Jepang. Kedua, if you've lived long enough in a place where there are plenty of Asians from different countries, lama kelamaan lo bisa liat perbedaannya. Dan yang ketiga, salah satu dari mereka pake kostum Naruto.

Gak cuma bajunya, si pemuda Jepang ini juga berambut jabrik kuning dan headband berlambang hidden leaf village, persis kayak si Hokage Desa Konoha. Namanya negara maju, orang-orangnya juga memang berbeda, ya.

Beberapa menit kemudian, akhirnya nyampe juga gue di depan mesin x-ray dan metal detector gate thingy. Sembari gue mengeluarkan barang-barang elektronik dari kantong gue, gue memperhatikan petugas yang berjaga di situ. Hampir semuanya keliatan muda, gak lebih tua dari gue, dan hal pertama yang nongol di kepala gue adalah wajib militer, tapi terus gue mikir lagi, wait China doesn't have compulsory national service, do they? Pertanyaan tersebut berakhir sebagai pertanyaan retoris, dan gue pun lanjut jalan melewati gerbang pendeteksi logam. Alarm pendeteksi logam tidak berbunyi, jadi gue dipersilakan lewat. Akan tetapi, barang-barang gue lain nasibnya. Salah satu petugas mesin x-ray mengabaikan gue untuk mendekat, dan dia ngomong bahasa Mandarin. Gue pun menjawab,

"Errr pardon?"

Gue gak ngerti bahasa Mandarin.

"We check bag, please wait there", jawab dia, kali ini dengan bahasa Inggris yang pas-pasan.

"O-oh, okay", sahut gue, sedikit bingung, karena gue yakin, selain muka, gue gak bawa barang yang aneh-aneh.

Petugas tersebut pun mulai membongkar isi tas gue, dan hal pertama yang dia keluarkan adalah tempat pensil gue. Tanpa minta izin, dia langsung membuka tempat pensil tersebut dan menumpahkan semua isinya, lalu seakan terkejut, dia mengangkat satu barang dari tumpukan pensil dan pulpen yang berserakan, dan setengah berteriak ke gue,

"WHAT THIS? THIS KNIFE? CUTTER?"

"Eh? Errr what? N-no, not a knife, that's a-"

"THIS KNIFE? CANNOT BRING. YOU CRIMINAL"


"...yea, but, no, it's an eraser, see? Here, look", jawab gue, sambil mendemonstrasikan ke si petugas kalo benda tersebut emang beneran penghapus, bukan cutter ataupun pisau.

Oke, fine, to be fair to her, emang sekilas penghapus itu bisa aja keliatan kayak cutter, but...I mean, no need to be that extra, damn.

Karena gak percaya sama gue, petugas tadi memberikan penghapus gue ke salah satu rekannya untuk di-scan ulang, lalu dia kembali menyelidik tas gue. Dan gak lama setelah itu, gue kembali dikagetkan suara lantang dari sang petugas.

"HEY, WHAT THIS?", tanya dia, sambil memegang salah satu buku novel yang gue bawa.

"Errr that's...a book. You know, a novel, it has a story that you can read?????", jawab gue dengan sedikit sarkasme dan nada pasif-agresif.

"But why book like this? Wh-why picture like this? What book is this?", tanya sang petugas.


...men, ini pertanyaan gue harus jawab gimana coba? Apakah gue harus ngasih dia sinopsis dari buku ini? Dalam bahasa mandarin?????

Karena gak mau buang tenaga, akhirnya gue cuma bilang,

"It's a book about the war. You know, World War II? You know, war, fighting, gun, shooting-shooting, yes?", jawab gue, berusaha sebaik mungkin untuk menggunakan kosakata yang mudah dimengerti, sambil memperagakan orang nembak pake pistol.

OKAY, I ADMIT, IN HINDSIGHT, MAYBE, JUUST MAYBE, IT WASN'T THE BEST IDEA TO BE DOING GUN-SHOOTING GESTURES TO AN ARMED SECURITY GUARD IN A FLIPPIN AIRPORT, BUT HEY, I'M NOT IN JAIL, SO ISSALL BLESS.

Setelah penjelasan gue yang asal-asalan, the guard gave me a bit of a leer, and finally let me proceed. Sejauh ini, Tiongkok benar-benar mengecewakan buat gue. Tapi ya sudahlah, pikir gue, dan gue pun membereskan isi tempat pensil gue, masukkin semuanya ke tas, dan lanjut untuk nyari gerbang di mana pesawat gue bakal boarding. Sayangnya, flight gue masih lama, jadi di papan jadwal pun belom nongol, akhirnya gue duduk di tempat yang sepi dan deket colokan listrik, supaya gue bisa nge-charge henfon, leptop, dan barang elektronik lain yang baterainya hampir abis.

Gue bukalah itu leptop, maksud hati ingin browsing, mungkin nonton yutup, nonton stream di twitch, atau mungkin nulis, atau sekadar buka-buka sosmed lain. Koneksi ke Wi-Fi gratis bandara udah dapet, gue udah siap untuk menempuh 7 jam tanpa masalah. Gue klik deh Google Chrome, terus gue ketik URL yutub dot kom, and I waited for the page to load. Sepuluh detik berlalu. Tigapuluh detik berlalu. Semenit berlalu. Ini kenapa internet Tiongkok lebih gembel daripada internet Indonesia?

Gue pun mencoba buka yutup melewati aplikasi henfon gue, namun hasilnya sama. Terus gue coba buka aplikasi Instagram, eh kok gak bisa juga. Barulah gue sadar

Oiya ya, di negara komunis ini kan hampir semua website non-lokal diblokir.

Terus gue nyoba google website apa aja yang diblokir di negara ini, tapi terus gue baru inget, google juga diblokir. Apa daya, di masa-masa sulit seperti ini, gue terpaksa pake search engine yang gak pernah dipake sama satu orang pun.

Bing.

Ya, entah kenapa, Bing gak diblokir di sini. Gue carilah website apa aja yang diblokir di Tiongkok, and the results are basically almost every single one I use. Karena gue gak tertarik nonton atau browsing konten dalam bahasa Mandarin, gue memutuskan untuk ngelanjutin baca Slaughterhouse Five, buku yang sudah sukses membuat gue disangka teroris.

Detik berganti menjadi menit, menit berganti menjadi jam, dan gak kerasa, waktu udah menunjukkan pukul 12. Jam makan siang. Gue laper. Satu masalah, duit gue habis untuk beliin oleh-oleh yang dipesen nyokap. Karena laper bikin susah fokus baca, gue nyoba main 3DS, dari Pokemon, Super Smash Bros., Kingdom Hearts, basically every game I owned. Awalnya sih sukses, tapi sayangnya, efek pengalihan perhatian tersebut tidak berlangsung lama. I then decided to take a walk, siapa tau dengan liat-liat restoran yang ada, laper gue bisa hilang. I know, the logic is not really there, but hey leave me alone, I was desperate.

Kafe demi kafe, restoran demi restoran gue lewati, dan entah kenapa, melihat menu Chinese food membuat nafsu makan gue hilang, jadi rencana beneran gue manjur. Entahlah, mungkin karena gue emang anak Islami *UHUKUHUK*, erhm, jadi liat makanan mengandung babi jadi ogah makan *ERRHMM HMM EHMM*, aduh maap, batuk.

But yeah, I ended up not eating anything at the airport. Untungnya, gue nyimpen cemilan dari penerbangan sebelumnya, I know it doesn't sound like much, tapi lumayan lah, a bag of nuts and biscuits.

Fast forward a little, akhirnya gerbang untuk penerbangan gue dibuka. Awalnya, gue kira maskapainya gak bakal terlalu rame, and as it turned out, I was correct. To an extent. It wasn't a full house, but there were still more passengers than I had had anticipated. And most of them are locals. And man.

These guys are absolute ballsacks.

I dunno if it's just me being a nitpicky, judgmental doodoo head, but holy hell, mereka berlagak seakan itu pesawat punya eyang buyutnya. Saat gue nyampe di tempat duduk di mana gue seharusnya duduk, ada satu bapak-bapak umur 30-an duduk di situ. Gue cek lagi tiket gue, mungkin gue yang salah, tapi ternyata bener, tempat bapak-bapak tadi duduk adalah tempat gue. Gue tegurlah si bapak ini dalam bahasa Inggris,

"Ehm permisi pak, tapi ini kayaknya bapak salah tempat duduk deh, soalnya itu tempat duduk saya".

Lalu si bapak ini membalas dengan bahasa Mandarin yang ngebut, dan nadanya agak meninggi. Takut dikasih bogem mentah, gue mencari bantuan pramugari terdekat, dan setelah si mbak pramugari ngomong sama si bapak tadi, akhirnya si bapak pergi dan gue bisa duduk dengan tenteram.

Gak cuma itu, ada juga satu mas-mas yang selagi take-off masih main henfon. And I know you're thinking, "well maybe he had his phone on flight mode", no, I saw his screen, he was on that Chinese discount YouTube website, watching a drama show. On speakers. Ya, entah dari hutan mana manusia ini berasal, tapi sepertinya konsep memakai earphone belom terlalu lazim di daerahnya. Kalo tiba-tiba pesawatnya oleng dan jatoh, gue udah siap menyundul si mas tadi sampe pingsan.

Setelah pesawatnya mencapai ketinggian yang stabil, gue disuguhin makan malem, dan kalian tau sendiri lah gimana rasanya on-flight food gratisan, but I was so hungry that the tasteless steamed rice & fish tasted like heaven. Gue makan dengan lahap, dan sesudah itu, gue tidur sepanjang perjalanan.

Durasi penerbangan dari Shanghai ke Jakarta memakan waktu sekitar 6.5 jam, jadi gue tadi berangkat jam 5.10 sore (Shanghai local time), sampai di Jakarta sekitar jam 11 malam Waktu Indonesia Barat. Pas landing di bandara Soekarno-Hatta, gue ngerasa ada perasaan aneh di hati gue. Perasaan senang dan bahagia, dicampur dengan perasaan sedih dan melankolis. Baru setahun gue gak ketemu sama kampung gue ini, tapi entah kenapa setahun terasa lama, dan gue kangen, and the fact that I'm back is probably why I felt fuzzy inside. Meskipun begitu, satu pertanyaan nongol di kepala gue, kangen sama apa? Sama kotanya kah? Sama keluarga gue kah? Sama makanannya kah? Semuanya gue rasa benar, tapi entah kenapa pertanyaan itu masih membuat gue risih.

Setelah turun, proses imigrasi, ambil koper, gue posting ke Instagram story gue untuk menunjukkan kalo gue lagi Jakarta. This is the one thing I didn't do last year, letting people know I was in town. Tapi eh, spoiler alert, ujung-ujungnya sama aja sih, I didn't really meet that many people, so hey ho, c'est la vie.

Gue pun berjalan menuju pintu keluar, dan breng.

Muka gue langsung disambut dengan udara sumpek dan panas khas Ibukota. Ah, udah lama juga gue gak menghirup polusi. Dan baru di titik itu gue sadar, gue masih pake pakaian masih berlapis-lapis.  Berangkat dari Jepang kan masih dingin, terus tadi di Shanghai juga dingin, lah ini di Jakarta, gue pake sweater di atas hoodie di atas kaos lengan panjang, ya jelas gerah pak. Gue langsung kepanasan, kulit gue mulai bereaksi, gatel-gatel sebadan, dan dengan segera gue menanggalkan jaket hoodie dan sweater yang gue pake. Gue hampir mati kena heat stroke.

Malam itu, gue dijemput keluarga gue, bokap, nyokap, dan adek, komplit.

Seperjalanan pulang, gue tentu saja ngobrol dengan mereka, diiringi lagu-lagu Indonesia dari radio.

Sepanjang jalan, gue perhatikan jalanan Jakarta yang udah sepi, juga gedung-gedung tinggi yang terang bercahaya. Semua terlihat indah. Semua terasa memikat. Sepanjang jalan, gue gak berhenti mikir

Man. This is one helluva city.

Comments

Popular Posts