A Painful Persona – Snippets from Spring Break 2018 (pt. 2.5)

(This is the continuation of part 2 of the "Snippets from Spring Break 2018" series, sorta like a side story business, a connecting bridge between part 2 and part 3. If you missed the previous parts, click here for part 1 and click here for part 2. Oh, and disclaimer, this one's gonna be a bit of a long read)

----




Gemintang Nayanika.




Saat melihat nama itu, hal pertama yang ada di pikiran gue adalah, "wuidi gilak, ini nama udah kayak tokoh cerita rakyat aja".

Dari tiga foto yang dia pasang tidak ada yang menampakkan wajahnya dengan jelas, namun imaji aesthetic dan "anak millennial gaul" terpancar kuat dari foto-foto tersebut.

Di bio-nya, dia tulis "don't you think the socially acceptable form of schizophrenia is writing?", yang awalnya gue pikir merupakan parafrase dari perkataan penulis asal Amerika Serikat, E.L. Doctorow, dan gue pakailah itu untuk membuka percakapan dengan dia.

"That's E.L. Doctorow, right?", tanya gue ke dia.

"Sincerely every writer, I guess?", jawabnya, hanya dua menit setelah gue mengirim pesan awal tadi.

"Well, that's not wrong I suppose. You write?"

"Naya. Call me Naya. You don't need to call me 'Write'. And I don't have any idea where 'Write' is"

Oooh, a bit of a sarcastic one, aren't ya, kata gue dalam hati. Playing along, gue pun menjawab,

"Ah, right, excuse my manners and grammatical error. I'm Rory, and what I was trying to ask is 'do you write?'"

"Haha relax! I'm just playing around. Everybody is, I guess? So yeah, I do"

Yeah, fair point. Setelah bercakap-cakap seputar menulis, gue keluarkanlah kartu as gue, seperti biasa.

"So what kinda music do you like?", ujar gue, sadar kalo gue perlu mencari ide yang lebih kreatif untuk dijadikan bahan obrolan.

"Just...good songs", jawab si Naya.

Kampret.

Untuk pertama kalinya, taktik obrolan ringan gue senjata makan tuan.

"That's...very specific of you", gue bilang, dengan sarkasme.

"I know. I'm a very specific person. Once a Tinderian asked me what am I look like. I answered, 'I am as cute as Japanese pornstar'", balasnya.


W  h  a  t.

Oke, mari kita telaah lebih lanjut kalimat tadi.

Pertama-tama, sure, she went along with my sarcastic answer, so that's good, at least she got that part. But then she coined the term "Tinderian", which is, as she explained later on in the convo, a word she uses to refer to people on Tinder. BUT, then comes the bombshell, she claimed to have looked like a cute Japanese pornstar???? Okay, I admit, that comparison projected a very,  v e r y  good image in my head, tetapi membandingkan diri sendiri dengan bintang bokep sepertinya sedikit tidak lazim, bukan? Dan biasanya, cewek bukannya malah tersinggung kalo dibandingin sama aktris film dewasa? Ini apa yang sedang terjadi sih?

Gue udah mulai nyalain lampu kuning dari titik ini, because my gut's telling me that something's a bit off.

Kami pun bercakap-cakap lebih lanjut, and from that, she told me that she's a university student, majoring in special education. Or at least that's what she, wait no, "she", claimed. Dia juga ternyata  berasal dari Bandung, kuliah di Solo, tapi saat kita match, dia lagi di Semarang, berkunjung ke villa bokapnya. And, again, at that point, I took everything "she" said with a grain of salt.

Up to this point, we had been conversing in English, dan gue sadar Bahasa Inggrisnya sedikit canggung, walaupun gak parah banget sih, but awkward nonetheless, like I've shown you in our convo above. Ya, itu bukan gue yang lupa proofreading, walaupun emang iya sih Bahasa Inggris gue kelas bawah, tapi bukan itu intinya oke. Jadilah, karena gue gak mau dia merasa canggung, gue bilang,

"Oh by the way, if you wanna speak Indo, gue ngerti kok. It's just that my Indo slang vocab is not up-to-date, and at times it makes people feel weird, so yeah hahaha"

Dan ya, gue masih menolak untuk membalik-balik kata seperti "sabi" in an unironic manner.

Lalu dia jawab, "I talk in English most of the times too, but if I need to convert it to Bahasa, I will do!"

At that point I was like, oh okay, that's cool I guess. Tapi semakin kita ngobrol, semakin gue merasa, I don't think she talks in English as often as she claimed. Or perhaps she does? But if she does, I don't think she'd sound this awkward? Lampu kuning pun semakin terang berpijar.

Gue juga nanyain hobinya, yang dia bilang "My hobby is give so many people L-word and when they ask for my responsibility I will be like 'what L-word?'"

She used the actual L-word, of course, I just wrote it as "L-word" because, well, issa long story, and I'm sure you know of it.

Dia pun bercerita tentang teman-temannya, kehidupan romantisnya, dan juga cowok-cowok yang menuntut dia untuk membalas perasaan mereka karena rupanya, her way of "giving everyone the L-word" sering dianggap sebagai keinginan untuk menjalani hubungan lebih, atau sering juga jadi dikira "flirting".

Firasat gue semakin gak enak, karena sepanjang kami ngobrol, dia kelihatan seperti orang yang sangat happy go lucky, tapi gue berani taruhan, gak ada orang seumuran gue di muka bumi ini yang se-happy go lucky ini. Perilakunya terasa terlalu over the top dan tidak masuk akal buat gue. Cuma anak kecil yang bisa kayak gini. Gak cuma itu, penggunaan L-word yang berlebihan juga membuat gue merasa tidak nyaman. Tambahan pula, gak pernah gue denger ada orang hobinya "tebar sayang", emang lu kira ini apaan, sinetron?

Lampu kuning pelan-pelan redup, dan lampu merah pun perlahan mulai menyala. Ada sesuatu yang janggal dari Naya.

Saat itu, gue udah balik di Jakarta. Kalo kalian ingin tau, ya, pulangnya juga gue yang nyetir bablas sampe rumah. Sebenernya awalnya bokap nyetir, tapi cuma 2 jam pertama, gak nyampe seperempat perjalanan kali. Maklum, sudah umur. Tapi ya gitu, perjalanan balik ke Jakarta jauh lebih menjengkelkan, karena macetnya gak karuan.

Sejak gue match dengan Naya di Semarang, kami hampir setiap hari ngobrol, karena biasanya di tengah percakapan, salah satu dari kami ketiduran, dan baru jawab esok harinya, jadi ngobrolnya selalu bersambung. Hanya sekali kita bener-bener bilang "goodnight" dan berhenti berbincang. After that "goodnight", awalnya, gue kira udah, sampai situ aja kami bakal ngobrol, karena keesokan paginya, dia tidak mengirim pesan, and my gut feeling was still telling me "big nono", jadi gue juga tidak merasa harus ngobrol lebih lanjut.

Keep in mind, gue juga masih ngobrol sama si Manda, jadi hari itu gue masih ada yang bisa diajak chatting. Hari itu, Manda memberitahu gue soal acara yang bakal digelar tanggal 31 Maret, only eight days away. Di acara tersebut, ada semacam seminar/talk yang tamunya merupakan idola dia. Salah satu band kesukaannya juga bakal manggung, jadi it's safe to say that she was looking forward to attending this event.

"Iyaa jadi ini kan kayak festival gitu, nah gue pengen nonton acara seminarnya, soalnya pembicaranya ada gue nge-fans bangeet. Sama terus sorenya sekalian nonton Mondo Gascaro", ujar dia.

"Ooh for real? Asik tuh kayaknya", tanggap gue, yang mengira Mondo Gascaro itu merupakan nama  suatu makanan khas daerah.

"Lo mau ikut? Gratis sih acaranya, terus gue juga udah RSVP buat gue sama abang gue, tapi abang gue ga jadi mau ikut hahaha"

Wuadugile. Jujur, I didn't think that I would actually end up meeting someone from Tinder in real life this time round, tapi ternyata, bisa juga kayak gini. Gue pun mulai membanding-bandingkan kasus ini dengan kali pertama gue ketemu orang dari Tinder secara langsung. Dulu tahapannya relatif lama, mulai dari Skype-an beberapa kali, terus dateng ke acara sekolah si doi, terus jalan bareng dia dan teman-temannya, sampai akhirnya nonton konser salah satu temennya hanya berdua. Lha yang ini kok bisa-bisanya langsung ngajak ketemu, emang gak khawatir kalo gue ternyata penculik mesum?

Sebenernya gue sih, yang khawatir kalo dia yang ternyata penculik mesum, tapi yah, kalau memang benar begitu adanya, gue ikhlas.

Gue lalu ngecek jadwal gue, tanggal 31 gue harusnya udah balik dari Bandung, jadi kemungkinan besar bisa, jadilah gue bilang,

"Boleh sih. Sekali-sekali juga ngerasain gimana sih nge-gig itu hahaha"

And just like that, the plan was set, Saturday, March 31st, Taman Menteng, sekitar pukul 1 siang.

Pagi hari itu, gue diajak nyokap ke dermatologist, karena layaknya ibu yang baik, ia ingin putra sulungnya berwajah tampan, bebas jerawat dan tidak dekil. Sepertinya, gue udah kelamaan jomblo sampe bikin nyokap khawatir akan kemungkinan gak punya cucu. But yeah, unlike my previous visits to the dermatologist, this time, it was actually worthwhile. Ya emang sih muka sama selangkangan masih tetep susah dibedain, jangan salah, tapi seenggaknya masalah jerawat udah bisa dikurangi secara drastis.

It wasn't until around midday, gue sadar, notifikasi di henfon gue sedikit error, jadi ada beberapa pesan masuk yang tidak ditampilkan. Kebanyakan dari pesan tersebut adalah pesan dari Lucky, sedang butuh sandaran hati, alias pengen curhat. Dan saat gue buka Tinder, ternyata ada pula pesan dari Naya.

"Heyyo!", begitulah isi pesannya, dikirim 30 menit yang lalu.

Gue dengan segera menjawab, "Heyy, what's up?", namun, beberapa jam berlalu, pesan gue tidak kunjung dia jawab, jadilah gue kirim lagi pesan, "Well, I guess I'll talk to you later hahahah", terus udah, gue gak pikirin lebih lanjut.

As I said before, siang tadi Lucky bilang kalo dia ada yang mau dicurhatin ke gue malam itu. Kenapa harus malem? Karena dia gak libur, jadi siang ada kelas. Kami juga biasanya kalo sesi curhat dibarengi main game online, seperti Overwatch. Berhubung rumah saya di pinggiran kota, jadi sampai sekarang rumah saya belom ada internet stabil. Dengan begitu, demi mendengarkan keluh kesah sahabat, malam itu gue bela-belain ke Mekdi bawa-bawa leptop, numpang internet gratis.

Ya, gue emang teman kualitas tinggi.

Berangkatlah gue ke Mekdi cabang Menjangan, dekat daerah Bintaro, sekitar pukul tujuh malam. Sesampainya di TKP, ternyata lebih rame dari yang gue antisipasikan, karena gue kirain kalo weeknight, tempatnya bakalan sepi. Tapi untungnya, masih ada tempat untuk gue duduk dan nyolok leptop. Setelah memesan satu paket nugget ayam dan chicken snack wrap, gue duduk, gue telefon si Lucky  lewat Discord, dan mulailah kami bermain, diiringi sesi curhat. Dia bercerita seputaran kehidupannya di Melbourne, Australia, dan gue juga cerita-cerita soal liburan gue di Jakarta, terutama bagaimana gue bisa dapet banyak match di Tinder. Pamer dikit gapapa dong, sekali-sekali.

Gue juga ceritain ke Lucky tentang Manda dan Naya, and how my phone functionality had reached a new peak since the day I bought it.

"Iya men, gue sekarang ngobrol gak cuma ke satu, tapi dua cewek dari Tinder men, emang gue gilak, alpha dog", ujar gue, setengah becanda setengah congkak.

"Lu alpha dog mananya nyet, anjing rabies iya kali hahahaha", celetuk si Lucky, menghina gue.

"Hahahaha tai. Tapi nggak juga sih, ini yang satu juga udah dari tadi siang kaga jaw-"

Dan di tengah-tengah gue ngomong gitu, henfon gue bergetar.

Gemintang Nayanika sent you a message.

"Wait, nope, never mind, speak of the devil, dia jawab nih"

Dibukalah pesan dari si Naya, sembari ngobrol dengan Lucky.

"Hey, I got a lot of stuffs to do and I'm feeling like I'm not in mood to open this app because I use this application to kill my boredom. But, how are you?", begitu isi pesannya. Gue pun jawab,

"Hahah yeah no worries, that's completely understandable. I'm great, thank you for asking, and how are you with your super busy schedule?"

Gue heboh sendiri, ngimbangin antara ngobrol sama Lucky dan membalas pesan dari Naya.

One thing to note, at that point of time, gue udah jarang buka Tinder, karena satu, gue dan Manda udah pindah ke LINE, dua, orang yang match sama gue kalo diajak ngobrol garing, dan tiga, Dimas udah mau nyampe di Jakarta, jadi Tinder cuma buat ngobrol sama Naya. Dan, karena Naya juga bilang dia buka Tinder kalo bosen, gue tanyalah,

"Just a thought, what if we just use a different chatting platform?"

"What could be the best platform?", dia tanya balik.

"Uhh I dunno, WhatsApp, LINE, Instagram even, your choice sih", ujar gue, menunjukkan sedikit  jiwa demokrasi.

"You choose!"

...ini kok malah jadi bolak-balik gini? Gue bilang ke dia kalo gue cukup fleksibel, pake apa aja gak masalah, eh tapi dia jawab kalo dia juga pake semuanya, terus dia malah mulai ngejelasin satu-satu aplikasi dia pake buat apa aja. Knowing that it wasn't gonna go anywhere, gue memutuskan untuk ambil inisiatif.

"Okedeh. Kalo gitu WhatsApp aja gimana?"

"I'm giving the number or you?", dia kembali bertanya.

"I'll give you mine", jawab gue, dengan perasaan ragu dan cemas, karena di satu sisi, gue gak yakin kalo Naya ini bener...Naya. Akan tetapi, gue juga tau apa yang akan terjadi kalo gue gak kembali ambil inisiatif.

Setelah mempertimbangkan semua resiko, gue kirimlah nomer telefon gue ke dia. Gue berharap nanti pulang di rumah, tidur di kasur gue, bangunnya juga masih di kasur gue, dengan semua organ tubuh  komplet di tempatnya masing-masing. Selepas itu, tiba-tiba saja,

"AAAAAAAAAAAA", balas Naya.

"Ummm are you okay?", tanya gue, agak deg-degan juga, takut tiba-tiba dia bilang "maaf ya, aku ini sebenernya om-om umur 47 tahun beranak lima".

"Delivery makanannya lama sampai. Udah dari sekitar jam delapan", katanya. Saat itu sudah pukul sembilan malam WIB.

"Oalaaah ck ampun deh, bikin panik aja hahaha".

Lalu, entah dari mana, Naya mulai membombardir gue dengan berbagai informasi seputar makanan, soal kulkasnya yang masih berisi makanan tapi dia saat itu sedang ngidam ayam Richeese, bagaimana dia tinggal sendiri di kost dan terlalu malas untuk masak, bagaimana dia tidak terlalu suka makan nasi, bagaimana dia tidak suka mengunyah. Gue tentu saja memberikan reaksi yang patut, but still, she had never been this chatty before.

"That's why I prefer something smooth like banana. Or porridge. Things you don't really need to chew", ujarnya, memberi kesimpulan dari pernyataan-pernyataannya.

"...kayak bayi ya, gue iyain aja deh hahaha. By the way, have you added me on WhatsApp?"

Seolah maling kepergok, Naya menjawab,

"Not yet, wait, I will eat my Richeese and come back to you".

Okay...that's...unusually timely, isn't it? But who am I to keep her from eating her dinner, so I simply replied with, "Alrgithy, enjoy your meal", dan lanjut ngobrol/main sama Lucky sampai cukup larut malam.

Sepulangnya dari Mekdi, pintu depan rumah sudah dikunci, dan keluarga gue sudah tidur, tapi tidak masalah, karena gue bawa kunci cadangan. Masuklah gue ke dalam, lalu tidak lupa gue kunci lagi pintu depan, dan gue langsung ganti baju, sikat gigi, dan siap untuk tidur. Belum ada balasan dari Naya. "Mungkin emang dia gak mau mengenal gue di luar Tinder kali ya?", gue berasumsi. Karena mata belum terlalu ngantuk, gue mulai membaca komik-komik lama yang duduk di rak buku gue.

Di tengah asik membaca pertandingan seru antara Shohoku dan Kainan, ponsel gue berkedip.

Notifikasi WhatsApp, ada pesan masuk. Pesan dari...

...

...Eh?


Mia?


Mia siapa ini? Gue gak inget punya kenalan bernama Mia. Gue liat nomer telefonnya. Tidak ada di daftar kontak.

"Hey, first of all I need to explain something", kata "Mia", yang, berdasarkan display picture-nya, merupakan seorang perempuan.

Dia kelihatan seumuran gue, berambut coklat lurus, panjangnya sebahu. Kulitnya termasuk putih untuk orang Indonesia. Salah satu matanya tertutup rambutnya yang tergerai, namun di bawah mata yang tidak tertutup, tampak jelas kantong mata yang intensitasnya baru pernah gue liat satu kali. Ya, kantong mata gue sendiri.

"Yes?", gue menyahut, memberi reaksi yang netral.

"You definitely want to talk to Naya but she's actually just a fictional character, but if you want her to be exist I will try to keep portraying her even though you actually got another girl's personal contact", balas Mia.

Gue mau bilang gue terkejut, tapi entah kenapa, dengan dugaan yang gue punya, "kejutan" ini tidak terlalu menimbulkan rasa apa-apa. Karena tidak ingin membuat suasana tidak enak, gue menanggapinya dengan nada tenang, avoiding words and tones that might seem like I was antagonizing her, making her sound like a villain and I'm a victim of her crimes.

"Oh whoa okay, so for almost a week, you pretended to be a character you made up? That's...kinda dope. But what if I actually wanna know the real person? Would that be a problem to you, um...Mia?"

"Yeah but I'm only faking the name and some photos with girls wearing pants because as the writer I'm not really comfortable with pants, I come with dresses and skirts..."

Dia pun lanjut berkata,

"I don't mean to make a fool of people by faking my profile, but I just want to create someone that looks very warm and lovely and bright, because Naya and I are different. I'm darker and not as 'cool' as her, maybe in terms of fashion sense, because Naya is so laid back and I personally like to wear dresses. I just want to make people happy. And loved. And smile. But I cannot do that with my actual self because of all the image I carry. I'm so sorry..."

Gue tertegun. Gue gak tau harus berbuat apa, harus ngomong gimana, ini merupakan teritori baru buat gue. Sure, she did technically catfish me, tapi entah kenapa, gue gak merasa marah, gue gak merasa tertipu. Perhaps one of the reasons why is because "Naya" was a thinly veiled facade, and I  could almost see right through her. However, the intent behind the facade is probably the main reason why I don't end up despising Mia. Her intent was not malicious. If anything, it's completely normal. Putting on a mask for the sake of others? Everyone's done that. I've done that. I bet you lot have, as well. The only difference is that Mia took it to an extreme, going above and beyond, making it seem rather harmful than helpful.

"Hey, you don't need to be sorry. Look, what you're doing, it's great, if anything that's a really sweet thing to be doing, your heart's in the right place, but...I don't think bringing happiness to others should cost you your own. And I'd be more than happy to get to know you, even if you're nothing like Naya"

At this point, gue udah gak mikirin lagi diksi yang gue pakai, sedramatis dan seklise apapun itu.

"I don't know, she's very lovely and soft and has so many positives, just a kind of girl that everyone will like...you probably will like her better. I really am not as attractive as her. She's more fashionable than I am", jawab Mia.

Dia menjelaskan kalau ia sangat suka memakai rok dan gaun, tapi ia setengah mati mencoba untuk menyukai busana yang lebih casual, seperti jeans dan t-shirt, karena menurutnya, wearing dresses and skirts made her look like a "spoiled princess" that is hard to approach, sedangkan pakaian casual akan membuatnya tampak lebih fun and friendly. Mia juga bercerita, dia sempat pergi date dengan seorang cowok dengan pakaian kesukaannya, dan cowok itu berkata "Rapi amat sih, abis ada acara apa? Atau mau kondangan? I actually don't like the kind of girl like you, dress too much, pasti nggak bisa diajak susah".

Gue, tentu saja, sepenuh hati mencoba untuk meyakinkan Mia kalo apa yang dia sukai gak ada salahnya, yet every time I tried to pull her up, she kept digging down, and down, and down.

"Listen, because I'm feeling bad for telling lies and I don't want to make you feel like you're talking with another character, I will give you my Instagram just so you know who I am and how I actually look like, is that fair enough for you?", ucap Mia.

"Okay, sure", gue jawab dengan sedikit kebingungan, because all this was never about physical appearance from the first place?

Dia pun memberikan username-nya, dan gue segera cari di Instagram. And it's there, and her photos are there. Memang, foto-foto Instagram-nya lebih jelas menampakkan wajahnya, gak kayak foto WhatsApp-nya. Kedua matanya tidak tertutup, dan mereka terlihat lebih bulat dan besar dibandingkan foto WA-nya, rambutnya juga ternyata lebih panjang, sedikit di bawah bahu. Gue sempet spekulasi, itu mata yang ketutupan jangan-jangan mata sharingan, tapi bukan, ternyata Mia bukan keturunan klan Uchiha.

"Okay, I've seen your pictures now. And, I dunno, what am I supposed to do now? Be angry at you?"

"Yes. Maybe? I don't mind, I honestly like it when someone treats me like shit. It feels right", timpalnya.

Ini kenapa emo sekaliii, ya Tuhaan, berikan hamba kekuatan dan ketabahan untuk bisa membantu sesama manusia.

"Listen, Mia, I don't mind you being you. That's all I'm gonna say. But if you don't want to, then I'm okay with that as well. If you think I'm being annoying, just tell me. I'll leave you be"

Mia pun menjawab,

"It's very fun to have you though. You're a nice person to talk with...that's why I'm brave enough to reveal my true self. But I also feel sad that I ruined Naya's image and you need to say goodbye to her. She's very interesting..."

"Nah, there's already plenty of Nayas out there"

"I tried so hard to be basic, I'm tired of being different, drawing attention to myself. I just wanna hide. Behind Naya. Behind everyone"

Malam sudah sangat larut, dan gue juga bisa merasakan suasananya mulai mereda. Sesudah ia mengirim pesan tadi, gue balas, untuk terakhir kalinya, dengan kata-kata penuh simpati dan pengertian. She then said that she's going to sleep, and so I said goodnight.

Paginya, gue sapa dia, just to make sure she's doing okay. We kept on talking for another day (or two, I think) after all that happened, sampai satu malam dia berhenti membalas pesan-pesan gue, dan untuk tiga hari setelahnya, it was radio silence from her.

Sejujurnya, gue agak khawatir sih, tapi kekhawatiran gue dikalahkan rasa gembira dan antisipasi, karena besok harinya, Dimas nyampe Jakarta.

Oh, and remember when I said the whole deal with Mia revealing herself didn't feel like much of a surprise? Welp, guess what, she  actually did manage to surprise me in the end. And the surprise was quite uh...dare I say it, life changing.

Comments

Popular Posts