Coming of Age (Life Update July 2018)
Whoa. 30k views. Thank you so much, that's actually mighty swell.
What's poppin y'all, Why Do I Always Isolate Myself From Everyone here, back with an update post because, holy hell, I just finished a five-part series about how my spring break went. So you know I had to do one of these at some point.
What's poppin y'all, Why Do I Always Isolate Myself From Everyone here, back with an update post because, holy hell, I just finished a five-part series about how my spring break went. So you know I had to do one of these at some point.
Tidak terasa, kita sudah sampai di pertengahan bulan Juli. Guys.
Gue udah mau umur 20 guys.
Guys, please.
H e l p.
Parah banget men, gak kerasa setengah dari 2018 lewat gitu aja. Semester ke-5 gue juga udah hampir abis, dan sebentar lagi libur musim panas. Oooooooooh boy golly, dear Father Time, please, calm your tits, man, like, slow down a little, please???
Anyhoo, di penghujung semester ini, gue akhirnya dapat kembali menulis, karena tugas-tugas sekolah yang porsinya nilainya gede udah tuntas. Otak gue kembali jernih. Ya nggak jernih-jernih juga sih, tapi emang otak gue udah butek sejak lama. Still in a constant spiral of misery, but heyho, it ain't hurtin' if you ain't carin', amirite bois?
I say that whilst I'm kept up at night, thinking about every single minuscule mistakes I made when I was 14. But hey, silver linings, at least I'm still alive, aren't I?
Yes, existence is pain, but I dunno, 2018 has been a story of "new things" for me so far. It is also my final year of being a "teenager", and all of a sudden, it feels as if the weight of the world is being pressed on my shoulders.
Entah kenapa, transisi ke tahun ke-20 buat gue terasa seperti beban yang berat buat gue. Gue tau, paling nanti pas gue ultah juga bakalan sama-sama aja, dunia bakal tetep berputar, dan orang-orang juga akan tetap lalu-lalang seperti sebelumnya. Tapi tetep aja, umur gue bakal ganti kepala, buat gue, itu gak pantes banget. Gue? Umur 20??? Dewasa????????????
Yang bener aja lo. Cebok aja masih beleberan.
Oke, nggak deng, itu hiperbola, temen-temen, saya bisa cebok sendiri sampe bersih kok, jangan jauhi saya, saya memang manusia disfungsional, tapi kalo urusan gini Alhamdulillah masih bisa, percaya deh.
Ehm, kembali ke topik.
Jaman gue masih bocah, umur 20 itu serasa sangat jauh, dan bayangannya kalo orang udah umur 20 itu berarti kita, sebagai manusia, udah berevolusi menjadi manusia yang ciamik. Kalo ibaratnya Pokemon, ini bagaikan perubahan dari Magikarp jadi Gyarados.
Dari kecil, lemah, tidak berdaya, dicacimaki, berubah jadi besar, kuat, mandiri, disegani publik.
Eh taunya, buat gue, evolusi tersebut lebih mirip kayak evolusi Trubbish jadi Garbodor.
Dari yang semula sampah, berubah jadi sampah juga, tapi lebih gede.
But yeah, I dunno. I just feel like I'm not ready to be 20. Apalagi, gue baru saja selesai dengan Indonesian Week, and although I didn't exactly contribute much to it, still, there are events that made me realize that hey, this is not how a soon-to-be 20 year old should behave.
Entahlah. Mungkin gue aja yang paranoid. Gue emang cenderung kebanyakan mikir, jadi suka khawatir tanpa sebab. Tapi yah, gak tau juga lah ya.
I've never been fond of growing up, but...
I guess there's only one way to find out, right?
Here goes nothing.
-R
Gue udah mau umur 20 guys.
Guys, please.
H e l p.
Parah banget men, gak kerasa setengah dari 2018 lewat gitu aja. Semester ke-5 gue juga udah hampir abis, dan sebentar lagi libur musim panas. Oooooooooh boy golly, dear Father Time, please, calm your tits, man, like, slow down a little, please???
Anyhoo, di penghujung semester ini, gue akhirnya dapat kembali menulis, karena tugas-tugas sekolah yang porsinya nilainya gede udah tuntas. Otak gue kembali jernih. Ya nggak jernih-jernih juga sih, tapi emang otak gue udah butek sejak lama. Still in a constant spiral of misery, but heyho, it ain't hurtin' if you ain't carin', amirite bois?
I say that whilst I'm kept up at night, thinking about every single minuscule mistakes I made when I was 14. But hey, silver linings, at least I'm still alive, aren't I?
Yes, existence is pain, but I dunno, 2018 has been a story of "new things" for me so far. It is also my final year of being a "teenager", and all of a sudden, it feels as if the weight of the world is being pressed on my shoulders.
Entah kenapa, transisi ke tahun ke-20 buat gue terasa seperti beban yang berat buat gue. Gue tau, paling nanti pas gue ultah juga bakalan sama-sama aja, dunia bakal tetep berputar, dan orang-orang juga akan tetap lalu-lalang seperti sebelumnya. Tapi tetep aja, umur gue bakal ganti kepala, buat gue, itu gak pantes banget. Gue? Umur 20??? Dewasa????????????
Yang bener aja lo. Cebok aja masih beleberan.
Oke, nggak deng, itu hiperbola, temen-temen, saya bisa cebok sendiri sampe bersih kok, jangan jauhi saya, saya memang manusia disfungsional, tapi kalo urusan gini Alhamdulillah masih bisa, percaya deh.
Ehm, kembali ke topik.
Jaman gue masih bocah, umur 20 itu serasa sangat jauh, dan bayangannya kalo orang udah umur 20 itu berarti kita, sebagai manusia, udah berevolusi menjadi manusia yang ciamik. Kalo ibaratnya Pokemon, ini bagaikan perubahan dari Magikarp jadi Gyarados.
Dari kecil, lemah, tidak berdaya, dicacimaki, berubah jadi besar, kuat, mandiri, disegani publik.
Eh taunya, buat gue, evolusi tersebut lebih mirip kayak evolusi Trubbish jadi Garbodor.
Dari yang semula sampah, berubah jadi sampah juga, tapi lebih gede.
But yeah, I dunno. I just feel like I'm not ready to be 20. Apalagi, gue baru saja selesai dengan Indonesian Week, and although I didn't exactly contribute much to it, still, there are events that made me realize that hey, this is not how a soon-to-be 20 year old should behave.
Entahlah. Mungkin gue aja yang paranoid. Gue emang cenderung kebanyakan mikir, jadi suka khawatir tanpa sebab. Tapi yah, gak tau juga lah ya.
I've never been fond of growing up, but...
I guess there's only one way to find out, right?
Here goes nothing.
-R
Comments
Post a Comment