Monochromatic Spring – Snippets from Spring Break 2018 (finale)

(This is the final part of the "Snippets from Spring Break 2018" series. If you haven't read the previous parts, you might wanna read them first. Click here for part 1click here for part 2click here for part 2.5, and click here for part 3)

----

"Nih Dims, this, this is one of my all time favorites. Ini lagunya laki banget, jantan, penuh testosteron, gue hafal kata demi kata, lo dengerin ya men"

Gue pencet tombol main, dan lagunya pun mulai bermain.

"AND IT STARTS IN MY TOES, MAKES ME CRINKLE MY NOSE, WHEREVER IT GOES, I ALWAYS KNOOWW", gue bersenandung sumbang, layaknya mas-mas karaokean di Inul Vista.

Ya, Bubbly by Colbie Caillat.

"Wah gila Ror, lo kalo nyetel ini di gym, lo gak usah ngangkat beban itu otot bisa kebentuk sendiri men", Dimas menimpali.

"Hahahaha oh jelas. Tapi goblok sih, bayangin Dims, di gym, lagi pada semangat, berisik lagu ajep-ajep, terus gue ganti jadi lagu ganjen unyu. Itu bonyok dihantem treadmill kayaknya pak"

Terjebak di tengah kemacetan merupakan sumber penimbul bosan yang paling mematikan. Memang hokinya kami, di hari kami berangkat ke Bandung, hujan turun cukup deras. Ya, persis seperti saat gue pergi ke Semarang tidak lama lalu. Hujan-hujan begini, Jalan Tol Cikampek otomatis tersendat, dipenuhi mobil pribadi yang tidak sabaran, truk yang berasap knalpot mematikan, dan bus pariwisata yang main salip kanan-kiri tidak tau sopan santun.

Gue sudah diwanti-wanti nyokap, kalo jalan ke Bandung sekarang lebih lama dibanding dulu, karena lagi banyak jalannya yang sedang dalam perbaikan, alhasil yang tadinya macet, sekarang jadi makin macet.

Perjalanan Jakarta-Bandung diisi dengan obrolan-obrolan tidak jelas yang menyenangkan. Tentu saja gue tidak bisa jabarin satu-satu topiknya, karena banyak juga kami meracau dan ngaco-ngacoan. Lagi pula, ingatan gue gak sebagus itu, jadi gak bisa inget sepenuhnya. Seputar masa lalu. Seputar teman-teman. Seputar sekolah. Seputar musik. Seputar percintaan. Seputar mantan yang sudah bertahun-tahun gue tidak mengerti keadaannya, apakah masih bernafas atau sudah almarhum, masih wanita atau tidak, tapi tetep aja ditanyain mulu kampret. Seputar kehidupan. Gue kangen bisa ngobrol ceplas-ceplos kayak gini, teramat lega rasanya bisa bercakap-cakap dengan seseorang tanpa  harus takut disangka sebagai orang aneh.

Meskipun macet di awal, perjalanan kami ternyata tidak memakan waktu terlalu lama, or at least not as long as we had anticipated. Jalan tolnya relatif lengang, dan tentu saja, gue, yang terlalu banyak main Need For Speed, tidak segan mengemudi dengan kecepatan tinggi.

Kami berangkat sekitar jam 12 siang, dan sampai di Bandung sekitar jam 4 sore. Ah, Bandung. I dunno why, but this city feels... special, for some reason, I can't really explain it. Tahun lalu gue pulang, gue juga sempat ke Ibu Kota Priangan ini. Gue ketemu salah satu sahabat jaman SD gue, sebut saja namanya Beam. Rencananya tahun lalu juga mau ketemu Raga, sahabat gue dari SMP, dan juga Shady, satu lagi sahabat jaman SD. Sayangnya, tahun lalu pesan yang gue kirim tidak sampai ke mereka. Or in Raga's case, it did reach him, but by the time it did, I was already back in Japan. Maka dari itu, tahun ini, gue bela-belain ketemu mereka berdua.

Selama di Bandung, gue numpang tidur di rumah eyangnya Dimas, yang kebetulan saat itu hanya ditinggali pembantu rumah tangganya eyangnya Dimas, jadi kamarnya kosong. Setelah nurunin barang-barang dan isitirahat beberapa jam, kami keluar untuk mencari makan malam. Hari sudah cukup larut, sekitar tengah malam, jadi pilihan tempat makan terbatas. Ada sih restoran-restoran 24 jam yang kayak Mekdonal, atau Richeese, tapi masa jauh-jauh ke Bandung makannya mekdonal lagi mekdonal lagi?

Jadi kami memutuskan untuk makan sate.

Rumah makan sate yang kami tuju ini buka sampai larut malam, dan letaknya tidak terlalu jauh dari rumah eyangnya Dimas. Rumah makan yang akan kami tuju ini bukanlah tempat yang asing, karena pas gue ke Bandung bareng Dimas dua tahun yang lalu (dan yap, buat jenguk Raga juga), kami sempat makan di situ. If you haven't realized it yet, yes, I would say that we are close friends.

Jalanan Bandung udah sepi, toko-toko pinggir jalan juga udah tutup. Lampu remang-remang dari beberapa warung makan menerangi jalanan kota Bandung yang sunyi. Setelah seharian nyetir di jalanan yang selalu macet, berkemudi di keadaan seperti ini membuat hati gue tenang dan ayem. Seandainya kota-kota besar Indonesia bisa selalu kayak gini, gak harus nunggu tengah malem atau musim mudik, gue mungkin gak bakal kepikiran kuliah di Jepang.

Long story short, kami makan sate, enak, kenyang, balik deh. Nah, seperti yang kalian ketahui, jam-jam segini merupakan jam rawan, di mana banyak makhluk yang biasanya tidak tampak di kala matahari masih tinggi. Ya, betul, makhluk yang gue omongin barusan adalah PSK. Atau kalo pake bahasa inglis, prostitutes.

Mereka berdiri berjejeran di sepanjang tepi Jalan Braga, melambai-lambaikan tangan mengundang pelanggan. For Dimas, that's been living a relatively sheltered life, this is somewhat of a new horizon, dan ada ketertarikan di dalam dirinya, tapi bukan ketertarikan yang seperti kalian pikir.

"Woh gila Ror, ini sepanjang jalan kita lewat banyak banget", kata Dimas.

"Lah Dims kalo *insert derogatory Indonesian word for prostitutes here* di Jakarta juga bukannya ada ya? Malah lebih banyak kan?"

"Iya sih, tapi ini baru pertama kali gue liat berjejeran di pinggir jalan, gak abis-abis gini coba"

"Weits, ini jangan-jangan lo tergoda ya Dims? Lo mau coba nyewa satu? Hahaha", sahut gue, bercanda.

"Gue sebenernya penasaran sih, Ror...", Dimas jawab dengan keseriusan.

"HEH, MASYAOLOH INGET TUHAN DIMS, INGET PACAR JUGA, INGET PACAR, DASAR LU MENTANG-MENTANG UDAH PUNYA CEWEK SOMBONG YE"

"Hahahaha bukan gitu Rooorrr, penasarannya bukan soal gituan, tapi penasaran aja, kehidupan kayak mereka itu kayak gimana, transaksinya gimana, lo pernah kepikiran gak sih?"

Gue, yang tidak pernah membayangkan diri gue menjual keperjakaan gue demi uang, menjawab dengan singkat dan jujur,

"... nggak juga sih Dims"

"... okedeh. Tapi lo ngerti kan apa yang gue maksud? Gue serius nih, lo mau gak coba minggir, terus sewa satu?"

"Hah? Ngapain Dims? Lo mau coba interview?"

"Iya Roorr, terus kalo lo mau gituan juga gue gapapa, pokoknya gue cuma mau interview"

"NGEPET, KENAPA JADI GUE DIBAWA-BAWA? GUE BUKAN MESUM NYET, OGAH LAH", bantah gue, sebenernya penasaran juga sih yang menjunjung tinggi akhlak dan moral.

"Hahahahaha ya siapa tau Ror, gue kan tau lo haus sentuhan", jawab si kampret sotoy.

"Oke, itu gue gak bisa bantah, tapi yang gue mau itu sentuhan kasih sayang, bukan sentuhan yang macam ini, kambing"

"Hehe iya tau kok Ror, gue becanda"

"... tapi iya sih Dims, gue jadi agak penasaran juga jadinya. Kan kocak tuh, kalo kita sewa satu, terus kita ajak aja bowling apa ngapain, lumayan nambah-nambah temen", ujar gue.

"Nah, iya kan Ror? Makanya, udah yuk coba, minggir Ror, kita pilih satu", jawab Dimas, antusias.

"HAHAH gak lah Dims, gue gak sepenasaran itu, sayang duit. Mending buat beli es krim, lebih enak, dan gak ada resiko terjangkit herpes"

But yeah, other than that, I feel like the trip to Bandung was an overall memorable, wholesome trip, and there isn't anything much worth telling. I mean, of course it is worth telling, but in the context of a supposedly-comedic-blogpost, you get me, right?

But for the sake of content, I'll jot some things down. Nulis itu susah.

Raga tidak banyak berubah, dari segi fisik maupun tingkah laku. Ada sih perubahan minim, seperti rambutnya yang model-model Reza Rahadian dan juga kacamatanya yang sekarang berbentuk lebih bulat dengan bingkai yang tipis. Lain halnya dengan Shady, mungkin karena udah gak pernah ketemu sejak awal SMP, perubahan fisiknya lebih terlihat jelas untuk gue. Rambutnya panjang acakadut dan berkumis tipis, tapi selain itu, semua masih seperti Shady yang lama. Raut wajahnya yang memang dari dulu bisa dibilang babyface masih terlihat, bahkan dengan adanya kumis. Tinggi badannya juga masih setelinga gue, seakan kami berdua tumbuh serentak, atau malah tidak tumbuh sama sekali sejak masa SD. Gaya bicaranya dan tawaannya yang khas juga masih sama.

Kami saling bertukar cerita, bahkan beberapa rahasia yang tidak pernah kami percayakan ke orang lain. Lima hari gue di Bandung terasa seperti mimpi, mimpi yang terlalu indah, yang bisa membuat gue merasa pilu di kala gue bangun. Lima hari yang lebih menyenangkan dari 365 hari sebelum dan kemungkinan besar sesudahnya. Lima hari yang mustahil untuk dilupakan. Lima hari yang berlalu terlalu cepat.

-----

Tanggal 31 Maret. Kulit di kedua ujung bibir gue kering mengelupas, karena kemaren gue cukur gak pake pelumas. Mampuslah gue. Memang, gue tidak menganggap pertemuan dengan Manda ini sebagai date atau semacamnya (and I'm pretty sure that feeling is mutual), but still, I wanna look good, damn it. Karena takut terlambat, gue bodo amat dan cabut ke TKP.

Acaranya digelar di Taman Menteng, kawasan yang gue tidak terlalu kenal. Maklum, anak JakSel, jarang main daerah Menteng. Awalnya gue khawatir susah parkir, tapi untungnya, Taman Menteng punya gedung parkir sendiri. Aneh juga sih, kok taman sampe ada gedung parkir, emang ya Jakarta Pusat bukan main.

Gue sampai di lokasi tepat waktu, and, to my surprise, the event was bigger than I thought it'd be. And more crowded, too. Beragam stan berjejeran, dari jualan baju, aksesoris, dan makanan semua ada. Ada juga stan yang diisi sukarelawan, mempromosikan aktivitas mereka masing-masing. I didn't notice it at first, tapi entah kenapa, gue merasa kalo festival ini... bukanlah tempat untuk manusia rendahan macam gue. Dan setelah liat banner judul acara tersebut, barulah gue sadar...

#HAPPINESSFESTIVAL2018.

Oh... pantas saja.

For some of you, that name may tell nothing about the event at all. But for those who breathes negativity day and night, a.k.a. me, the name pretty much explained itself. No wonder there were so many vegan-friendly stands, and all these homemade, hipster-esque stuffs lying about. Festivalnya memang didasari konsep SDG, atau Sustainable Development Goals, which you can google for yourselves, but basically, it's an ideology made by the UN to make the world a better place, you know, stuffs like eradicating poverty, improving education, etc. Jadi, setiap stan di sini ada hubungannya dengan salah satu dari 17 SDG yang ada.

Gue dan Manda janjian untuk bertemu di dekat main stage. Gue kira cuma bakal ada satu panggung, tapi seperti yang gue bilang tadi, acaranya gede, dan ada banyak panggungnya. Setelah nyasar di antara kios-kios berbau aromaterapi, akhirnya ketemu juga main stage yang dimaksud, dan ketemulah gue dengan Manda.

"Manda?", tanya gue, just to make sure.

"Oh, hai Rory!"

Dia lagi di tengah-tengah ngobrol dengan temennya, jadilah gue dikenalin ke temennya tersebut.

Orangnya persis seperti foto-foto yang dia pasang di Tinder dan juga media sosial lainnya, so no funny business here. Dia bahkan memakai kaos yang bertuliskan "GOD BLESS INDONESIA AND ALL THE BEAUTIFUL WOMEN IN IT" seperti yang dia pakai di salah satu foto Tinder-nya. Gue curiga, ini jangan-jangan dari waktu foto sampe sekarang baju kaga dicuci, tapi untungnya tidak, dia tidak beraroma janggal. Tapi dia gak setinggi yang gue pikir, karena dari foto-fotonya, kakinya kelihatan panjang, gue kirain dia setinggi atau malah lebih tinggi dari gue.

Dengan begitu, kami dengarkanlah itu seminar seputar aktivitas sukarelawan di Jakarta. Setelah seminarnya selesai, Manda minta foto sama salah satu pembicaranya yang dia idolakan, dan kami muter-muter festival tersebut. Mondo Gascaro, musisi yang ditunggu-tunggu, baru akan manggung dua jam lagi, jadi kami punya banyak waktu untuk liat-liat.

Percakapan kami terasa sedikit... canggung. Entahlah, walaupun selera musik kami sejalan, mencari topik obrolan lain yang bisa nyambung agak susah. Tapi itu emang kayaknya gara-gara gue aja sih, yang emang hopeless dalam bersosialisasi. Regardless, I tried to be as talkative as I could, asking her questions so she can do most of the talking and I do what I do best, listen. But yeah... soon, I ran out of topics and questions to bring up. Untungnya, ada satu lagi temennya yang dia ajak, akhirnya datang juga. Temennya Manda ini cowok, tingginya kira-kira sama dengan dia. Rambutnya panjang, berkacamata, dan entah kenapa dia pake jaket di hari yang panas itu. Manda cerita, dia juga ketemu si cowok ini dari Tinder, and it turned out that this guy was a friend of a friend of hers, and basically, they became close friends, somehow? Gue lupa detilnya oke, I don't have an eidetic memory.

Jadi, dengan hadirnya si cowok jaketan ini, gue tidak perlu berbicara banyak. I did feel slightly, just a teeny, tiny bit more awkward, because now, I'm basically a flippin third wheel to two strangers. Lengkap sudah bajaj. But eh, I've been in worse situations, so I didn't mind it and just went along. Sepanjang acara, gue sibuk jilatin kulit di tepi bibir gue, biar gak keliatan terlalu kering dan ngelupas-ngelupas.

Singkat cerita, Mondo Gascaro udah mau manggung, dan om Mondo beserta personil band-nya sudah sampai di tempat. Dan tiba-tiba saja,

"IIIIIH MAIGAT WOI, ITU DIAAA. SUMPAH DIA GANTENG BANGET WOI, PARAAH", kata si Manda tiba-tiba, sambil meremas dan mengguncangkan bahu gue.

Taken by surprise, gue jawab,

"I-itu... siapa emang ya?"

"Itu gitarisnyaa, gilak parah, dia keren banget. Dia tuh emang rada gemuk, tapi gemuknya masih yang termasuk normal, dia juga gayanya bagus, punya fashion sense jadi uuuuUUGHH", ujarnya, sambil mempererat remasannya di bahu gue, dan guncangannya makin heboh.

"E-oh... i-iya, gitu ya? Yang mana sih orangnya", sahut gue dengan bahu yang mati rasa.

"Yang ituuu tuh, liat gak? Yang pake kacamata iteem"

Gue pun nengok ke arah yang dia tunjuk.

Seakan melihat hantu dari masa lalu, gue reflek ngomong,

"... E-eh? MISTER GABRIEL???"

"Hah? Mister siapa?", sahut Manda kebingungan.

Saat SMA, gue punya guru kimia yang, yah... lumayan sulit untuk dilupakan. Guru gue ini orang Filipina, dan ya, namanya Mister Gabriel. Dan... ya... gitu... ini gitarisnya Mondo Gascaro, yang dibilang Manda ganteng, kenapa mirip sama guru kimia SMA gue...

"Euuhh bukan... itu... anu... bu-bukan siapa-siapa kok. Itu gitarisnya... m-mirip"

"Mirip...?"

"Guru kimia SMA gue dulu"

Manda pun melepaskan cengkeramannya dari bahu gue, dan wajahnya setengah kaget setengah tersinggung. If you're reading this, maaf ya Manda, gue udah menghina idola yang lo impi-impikan. Saya tidak bermaksud.

Tanpa sadar, penonton sudah banyak berkumpul, banyak juga yang dateng hanya demi nonton Mondo Gascaro. Kebanyakan dari orang-orang tersebut seumuran gue, ada yang lebih tua, ada yang lebih muda, tapi gue rasa nggak terlalu jauh. Dan ya, mayoritas dari mereka keliatan banget kayak orang-orang yang anti-mainstream garis keras. They look like if you play a Taylor Swift song within their range of hearing, they'd cover their ears in pain and start hissing at you. They also hang out at Starbucks a lot. They also probably have the latest, most expensive Apple products. They also look like they upload """aesthetic""" pictures on Instagram and unironically put "good vibes" as the caption.

Oke, cukup, maaf, gue kebawa emosi.

That being said, the performance was genuinely great, I thoroughly enjoyed it. Not only that, I basically got new music for my playlist, so that's mighty swell.

Sesudah acaranya selesai, Manda dan temennya sudah ada rencana untuk makan malam bareng temen-temennya yang lain. Gue sempet diajak, tapi gue tolak dengan sopan. I dunno, at that point of time, I felt like the anxiety that's been piling up throughout the day had finally peaked, and one more minute with a stranger might just end up with a less than graceful mental breakdown.

And no, it's definitely not because of Manda, or her friend, or the hipsters gathering at the event, it's just me. Semuanya merupakan pengalaman baru buat gue, dan gue, walaupun sudah hampir 20 tahun hidup di muka bumi ini, masih saja tidak tau bagaimana caranya untuk menyesuaikan diri. But no, really, I'm thankful to Manda for inviting me there. Mungkin kedepannya, pengalaman ini bisa jadi bekal buat gue untuk bisa jadi manusia yang fungsional dalam bersosialisasi dengan manusia-manusia lain.

Soo yeah.

That was my spring break in a few blog posts, I guess. This is the longest series I've ever written thus far, and I enjoyed writing this. A bit too much perhaps, because I know human attention span is short and these long posts are probably not gonna do well, but heyho, so it goes.

Kalian inget, di awal serial ini, gue sempet bilang kalo gue bingung, sebenernya ini gue kangen sama apa dari Indonesia? Dan setelah liburan gue selesai, barulah gue ngerti, apa hal yang gue paling kangenin.

Momen-momennya.

Dimas pernah bilang ke gue, "often times, you don't miss the person, or the place, you miss the moments you spent with the person, at that place", dan gue baru ngerti sepenuhnya apa maksud dari perkataannya. Selama gue di Indonesia, gue makan semua makanan Indonesia yang gue suka, gue kunjungi berbagai tempat yang biasa gue kunjungi, tapi semua terasa berbeda, terasa tidak lengkap. Memang, momen-momen menyenangkan di masa lalu kita tidak bisa ulang kembali, tapi kita selalu  bisa membuat momen-momen baru yang lebih mengasyikkan. Ya, gue telat banget menyadari hal sesimpel ini.

It was a spring break to remember. So much happened in a span of one month. All these happened only a few months ago, yet it feels like a distant memory. Just then, I finally understood what it meant when people say "you can't force people to be a part of your life", but only recently, the person I thought was gone for good had suddenly came strutting back in. Uninvited, unexpected, out of nowhere. How I view the person, my feelings for the person, they have changed, of course, but still, having them acknowledge your existence, it's... kinda nice. I just hope it stays this way. I doubt it will. It most probably won't. Especially if I keep pushing them away like I've been. But I can hope. Better yet, I can change.

Okay, I'm rambling now, my Tumblr mode is slowly seeping out, so I should stop before it gets worse.

I don't really know how to end this.

If you've read this far into the series, thank you. Like, genuinely, I appreciate it. Knowing that people care enough to read my nonsense writing, it feels swell. I know we probably don't see eye to eye often, but thank you, from the bottom of my heart. Sorry I haven't been posting often.

That's all for now.

Comments

Popular Posts