Backstage Bonanza

Di universitas gue, cultural diversity merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi. I might even argue it's the only thing this god forsaken university promotes. But yes, my personal opinions aside, my university really puts an emphasis on how diversity and multiculturalism is the best thing in the world. Yes, so much so that they're even claiming them to be better than Hey Ya! by Outkast, which is highly debatable.

Salah satu kegiatan yang rutin diadakan di kampus gue adalah Cultural Week, jadi selama seminggu, berbagai budaya dari satu negara akan ditampilkan. Dari tarian, nyanyian, dan berbagai macam seni lainnya dipamerkan dalam seminggu tersebut, dan biasanya Cultural Week ini ditutup dengan Grand Show yang diadakan di hall kampus.

And yes, of course Indonesian Week is a thing. Matter of fact, it's a big thing, massive even. It's one of, if not, the best cultural week here at my college. Gue udah pernah cerita sedikit tentang cultural week dan juga tentang Indonesian Week (in "Butterflies" and "Changes"). Ya, tahun lalu, gue ikutan berpartisipasi di Indonesian Week untuk jadi hantu. Akhirnya, wajah gaib gue bisa digunakan untuk hal yang positif. Tahun ini gue juga ikutan, tapi cuma sebagai backstage crew grand show.

Kalo gak salah, di post rangkuman tahun 2017 gue, I talked a little about auditioning for a role in this year's Indonesian Week grand show, but I didn't get the part because, well, for reasons that are frankly more than obvious. Oke, jadi audisi ini merupakan salah satu ingatan yang bikin gue pengen ngeludahin diri gue sendiri. Ya, saking hinanya. Lo tau gak sih, kalo lo udah jam dua malem, tapi gak bisa tidur, terus tiba-tiba lo keinget satu kejadian dari masa lalu yang sangat memalukan, terus lo merinding disko dan berharap malaikat Izrail datang menjemput lo saat itu juga?

Nah, audisi ini merupakan salah satu dari kejadian tersebut.

Because of that, I was reluctant to show my face in public ever again. Well, I-I mean, I was already reluctant to begin w-you get what I mean. Jadi ya selain audisi tersebut, untuk INAWeek 2018 ini, kecuali ada yang ngajak, gue emang gak ada rencana untuk melibatkan diri. It's an awful habit, I know, I've had plenty of lectures about it.

Luckily for me, an invitation is exactly what I got. Sekitar seminggu sebelum Indonesian Week digelar, salah satu temen angkatan gue, Bena, mengirim pesan lewat LINE, ngajakin jadi backstage crew untuk grand show INAWeek nanti, karena katanya kurang orang. Gue, yang gak tau caranya nolak, mengiyakan ajakan tersebut. Kalo nggak salah dia ngajak hari Senin, dan latihan grand show berikutnya jatuh di hari Rabu, jadilah gue disuruh dateng ke kampus jam delapan pagi di hari tersebut.

Datanglah hari Rabu, dan datanglah pula gue ke kampus. Di kampus, gue ketemu sama salah satu temen gue, Thrift, yang merupakan ketua logistik & backstage.

"Wah Ror, gila thanks banget ya udah mau bantuin, dateng pagi-pagi gini. Kita kurang orang banget nih soalnya", he said, followed by a friendly dap.

"Ahah iya, santai laah, happy to help man"

"Lo sampe nanti hari-h juga ikut kan?"

"Pastinya dong"

"Siip, mantap lah"

Kami pun mulai masuk-masukin berbagai prop ke backstage, dan gue pun diberikan instruksi oleh salah satu penanggung jawab backstage.

"Kak Rory ya?", kata si penanggung jawab tersebut, yang merupakan seorang junior.

I dunno why, but having someone other than my family calling me "kak" still feels odd. Emang sih, di Indonesia ini hal yang biasa, junior manggil senior dengan sebutan "kak" di sekolah. But I mean, I barely interacted with people in my year, let alone interacting with upper- and/or underclassmen, jadi ya gitu. Although yes, I did interact with my juniors back in high school, tapi di SMA gue, tembok antara senior-junior itu nggak setinggi sekolah di Indonesia pada umumnya. To be fair, I was (and still am) not particularly close with this person, we only just met that day, so I guess I can sorta understand? But anyway, I digress.

"E-eh, iya. Jadi gue tugasnya ngapain ya?", jawab gue.

"Tunggu, gue liat dulu ya. Hmm... oh, kakak hari ini megang katrol"

"Oooh okeoke sipdeh, megang katrol... itu kerjaannya berarti ngapain ya??"

"Oh iya, ini baru pertama kali ikut rehearsal ya? Oke, gue tunjukin dulu sini"

Jadi singkatnya, kan ada tuh beberapa prop yang digantung, kayak matahari, awan, dan sebagainya, ya gue bertugas naik-turunin prop-prop tersebut.

Gak lama setelah itu, rehearsal pun dimulai.

Kerjaan gue tidak terlalu rumit, gue cuma perlu narik, nahan, dan ngulur tali yang digunakan untuk menggantung prop. Agak bikin pegel sih, karena gue perlu nahan prop tersebut selama satu scene. Gue juga gak bisa terlalu banyak gerak-gerak selama satu scene karena kalo gue gerak, ya propnya juga ikut goyang-goyang. I know staying still might not sound like a hard thing to do, tapi gue bukanlah orang yang gampang diem. I do get quite fidgety at times.

Selesailah rehearsal hari Rabu. Rehearsal berikutnya, hari Minggu, and it was pretty much the same thing, cuma di latihan kali ini, ada beberapa anggota backstage baru, termasuk salah satu murid yang juga alumni SMA gue, Spell. Lumayan, jadi ada temen ngobrol yang somewhat nyambung dan gak terlalu canggung.

"Eh, what the hell, I didn't know you're part of the backstage crew as well", tanya gue, karena di latihan kemaren, Spell tidak hadir.

"Well yea, basically right, last rehearsal, I was asked to come, tapi cuma disuruh nonton, terus pas gue tanya perlu bantuan gak backstage, gak jawab, eh but then the next day, they asked me to help", jawab Spell.

"Wooh pantesan, lah berarti, this is your first ever rehearsal?", gue kembali nanya.

"Iya dude, I know jack shit about anything hahaha, I'll need you to guide me here"

"I would sih, tapi masalahnya, pengetahuan saya juga tidak banyak, gue juga baru ikutan dari latihan yang kemaren"

Begitulah.

Keesokan harinya, Indonesian Week 2018 dimulai.

Untuk mempersingkat cerita, loncat ke rehearsal berikutnya, dua hari sebelum hari grand show, hari Rabu lagi.

Latihan hari Rabu lebih serius dari hari Minggu dan juga hari Rabu minggu sebelumnya. Latihannya juga bakal berjalan seharian pol, dari jam 8 pagi sampe jam 9 malem, berhubung hari Rabu ini merupakan latihan terakhir sebelum grand show benerannya.

Rabu memang hari kosong buat kebanyakan murid, termasuk gue. Akan tetapi, Rabu itu gue udah ada jadwal untuk interview buat kerja part-time pukul tiga sore, dan gue gak tau itu interview bakal berapa lama. Jadilah, gue kemungkinan besar cuma bisa ikut latihan sampe jam dua siang.

"So you're only gonna be here til, what, two, two thirty?", tanya Spell, sembari ngurusin katrol.

"Yeah, around two. Speaking of which, lo pernah gak interview buat part-time?", gue nanya si Spell, sedikit cemas dan gelisah.

"Pernah sih dulu, I got interviewed with my friend to work at a hotel"

"Terus, did you wear formal clothing?"

"Umm kinda, I guess? I wore a buttoned shirt and long jeans"

"... kalo pake t-shirt sama jeans pendek gimana ya kira-kira?"

Ya. Gue, yang blo'onnya minta ampun, udah tau ada interview hari itu, pake kaos oblong dan jeans pendek dan gak bawa baju ganti.

"... errr I'm not sure, it depends really, but, is your part-time place a big or small store?"

"Kecil sih, kayak kedai ramen yang segaris gitu"

"Well, I dunno, the t-shirt might be okay since you'll probably be working in a t-shirt as well, but the pants... yeaaa I'm not sure man hahaha"

"Faaaaak tolol banget gue, kalo pulang gak bakal nyempet masalahnya"

Lalu, dengan santainya, Spell mengajukan satu ide yang brilian,

"You wanna borrow my pants?"

teman tak terganti.

"... lo nya emang gapapa?"

"Yeah, I'm fine with it, lagian cuma bentar doang kan"

Seumur hidup, baru pertama kali ada yang nawarin gue tukeran celana secara blak-blakan gini.

"Kalo gitu... yaudah, boleh deh"

Kami pun pergi ke toilet untuk saling tukar celana. Semuanya berjalan mulus, tiba-tiba saja, Bena masuk ke dalam toilet, memergoki gue dan Spell.

Bena diem.

Gue diem.

Spell juga diem.

".......... abis ngapain lu Ror?", tanya si Bena, sedikit curiga.

"... a-abis k-kencing lah, bro", jawab gue, mencoba bertingkah normal.

Untungnya, pas Bena masuk, gue dan Spell udah selesai tuker celana, gue udah pake celana dia dan dia udah pake celana gue. Kalo dia masuknya pas kami berdua masih koloran, bisa-bisa jadi malapetaka tiada dua.

Gue dan spell pun keluar dari toilet, sambil nahan ketawa. Hampir saja orientasi seksual kami jadi bahan gosip komunitas Indonesia sekampus.

I'll spare you the details, but it turns out, the interview was barely an interview, gue cuma ketemuan sama manager-nya, kasih dia alamat, nomor telefon, ngomongin soal kerjanya, terus ngobrol dikit, udah. Gak nyampe setengah jam. Tadinya gue mau langsung pulang aja, soalnya udah terlanjur bilang ke Thrift kalo kemungkinan besar gue udah gak bisa balik. Tapi akhirnya gue balik ke kampus, karena gue masih punya rasa tanggung jawab. Rasa tanggung jawab untuk menjalankan tugas sebagai backstage crew dan juga tanggung jawab ngebalikin celananya Spell.

Finally, the day of the grand show.

The night before, Thrift posted the list of roles of each backstage crew member, and to my surprise, tugas gue beda total sama latihan-latihan sebelumnya. Gak cuma beda, lebih sedikit pula. Biasanya, kalo gue dikasih tugas lebih sedikit, gue gak masalah. Malah enak kan, bisa santai dan gak perlu keluar tenaga banyak. However, I don't know why, but this time, I felt conflicted. Iyasih, tugas dikit, but for some reason, I wanted to be more involved. Sejak kapan jalan pikiran gue bisa gini? Aneh.

Then came showtime, and everyone did their parts. I know I did. The show was a success. I can't say for sure, but the deafening cheers and applause from the crowd was a good indicator of that, I think.

After the show, the cast and crew members usually gather at the lobby to meet up with friends, families, or whoever it was in the audience they wanted to meet. The lobby was overflown by humans, a pandemonium. People exchanging hugs and heartwarming words, taking photos, sharing an unforgettable moment.

Me?

Well, I got a few daps here and there, a few otsukare, granted they were pity daps, but you know what, I don't wanna assume the worst for once. But yeah, nothing too special.

But I dunno. It felt really weird. It's as if there was a clash of conflicting desires inside me. I despise this, over the top emotions, a clusterfuck of people. I always have. On any other day, I'd pay to get out of this situation. But at the same time, I wanted to be a part of it. I wanted to just let go of all self-awareness and jump into the feel-fest. Gue penasaran, gimana rasanya bisa lepas aja, bisa nangis terharu saking bahagianya. But I also felt like even if I were able to, it wouldn't have been well deserved. All I did was push a part of a temple and carry a bench and a sign. What I did, compared to all these people, were almost insignificant.

Dan, walau hanya untuk sejenak, ada perasaan yang tiba-tiba merasuki diri gue.

Untuk pertama kalinya dalam hidup ini,



Gue gak suka sendirian.



Dan gue gak tau harus gimana. Gimana caranya gue berubah? Apa yang harus gue perbuat? Di mana gue harus mulai? Kenapa gue tidak pintar berbaur? Kenapa gue nggak bisa dengan mudahnya bergaul dengan mereka? Kenapa gue selalu membuat hal-hal sederhana lebih sulit dan rumit? Is it all too late now? Am I twenty years too late? Semua pertanyaan ini membanjiri kepala gue. Semua terasa absurd, abstrak, dan otak gue berusaha keras untuk mencernanya.

Di tengah lautan manusia yang sedang dipenuhi kegembiraan tiada dua, gue hanya bisa diam dan tersenyum, berdiri seorang diri, mengamati raut-raut wajah bahagia berteteskan air mata haru, saling berpelukan, saling bertukar kata-kata pujian setinggi langit.


Gue pengen bisa kayak mereka.


Gue iri.


Singkat cerita, acara sudah selesai, gue pun mengantre di halte bus untuk pulang. Gue kembali tenggelam dalam derasnya arus pikiran irasional gue. Only then I understood, how much this week in particular truly meant for the ones who were truly involved. And there I was, thinking that being a semi-impromptu backstage crew, pushing and picking up a few props, was a big deal. For a second, I actually thought I was making progress in terms of breaking out of my comfortable shell, trying to be more sociable and whatnot.

Hooo boi, imagine being this arrogant hahahaa.

Tidak lama kemudian, bus pun datang. Gue duduk menyendiri di kursi paling depan dan mulai membaca bukunya Neil deGrasse Tyson yang berjudul Astrophysics for People in a Hurry, untuk mengalihkan perhatian gue dari lamunan tidak jelas. Di situ gue baru sadar, ada satu halaman di awal bukunya yang tanpa sengaja gue lewatin, soalnya kertasnya nempel. Halaman tersebut berisi prakata dari si Pakde Neil, dan di akhir prakatanya, dia bilang gini,

"At one time or another every one of us has looked up at the night sky and wondered: What does it all mean? How does it all work? And, what is my place in the universe?"

Malam itu gue pandangi langit kota Beppu. Gue jadi teringat masa-masa gue dulu SD-SMP, di mana gue sering manjatin genteng rumah, baik milik sendiri maupun milik tetangga komplek, untuk menikmati langit Jakarta di tengah kesunyian malam minggu. Sayangnya, gak banyak yang bisa dinikmati dari langit Jakarta, berkat polusi cahaya dari gedung-gedung bertingkat di pusat kota yang membuat langit malam ibukota terlihat kosong.

Hobi eksotis gue ini berhasil bikin gue kena sambitan sandal Swallow karena disangka maling. Pernah juga disambit Ayat Kursi karena disangka antek syaiton.

Tapi malam itu, gue sadar. Setelah lama gak merhatiin lingkungan sekitar gue, setelah lama gak pernah nyempetin untuk berhenti sejenak dan melihat sekeliling gue, setelah dua tahun gue tinggal di negeri tetangga nan jauh ini, barulah gue sadar.


Langit kota Beppu terlihat berbeda.


I could feel a little bit of optimism creeping into me. And I couldn't help but crack a smile. An ugly, idiotic, relieved smile.


Today was mighty swell. I really ought to thank Bena for dragging me out of my shell. I owe him one.




-----



























Anyhoo, here's a little photo from that evening.

dat moi at the back lol

Comments

Popular Posts